Back

Ketika tiba di Quba, Nabi tinggal di tempat Amr bin ‘Auf. Ia tinggal tidak lebih dari sepuluh hari. Nabi melakukan shalat sehari-harinya dengan qashar (memendekkan shalat). “Maukah engkau tinggal bersama kami?” Akan kami sediakan rumah dan tempat yang dapat dijadikan masjid”. Nabi menjawab: “Tidak. Aku menanti Ali bin Abi Thalib. Aku telah memintanya untuk menemuiku. Aku tidak akan mencari tempat tinggal terlebih dahulu hingga Ali sampai. Aku tidak akan mendahuluinya insya Allah”.[56]

Ali bin Abi Thalib beserta rombongan tiba. Terlihat kakinya yang melepuh dan sebagiannya malah terluka. Itu akibat perjalanan yang melelahkan dan cuaca yang sangat panas. Dalam perjalanan, Ali tidak menaiki unta melainkan berjalan kaki. Ketika melihat kondisi Ali, Nabi saw. langsung menitikkan air mata, lalu mengusap kedua kaki Ali dengan tangannya. Luka-luka di kaki Ali sembuh, dan semenjak itu kakinya tidak pernah sakit.[57]

Dengan kedatangan Ali, Rasulullah saw bersama rombongan dari Quba menuju Bani Salim bin ‘Auf. Di sana, Nabi menggariskan dan mendirikan masjid. Kiblat di tetapkan oleh Nabi. Bersama rombongan, Nabi melakukan shalat dua rakaat dan kemudian berkhotbah dengan dua khotbah. Pada hari itu juga, mereka menuju Madinah. Nabi menaiki untanya dan Ali mendampinginya lagi. Ali berjalan sesuai dengan jalannya Nabi. Pada akhirnya, Nabi turun dan tinggal, disertai Ali, di tempat Abu Ayub Al-Anshari. Mereka tinggal di sana hingga masjid dan rumah tempat tinggal mereka dibangun. Setelah rumah mereka dibangun, Nabi menuju rumahnya dan Ali tinggal di rumahnya sendiri.[58]

Beberapa Poin Penting dari Tidurnya Ali di Pembaringan Nabi

1.  Tidurnya Ali di pembaringan Nabi menunjukkan kematangan pribadinya dalam kaca mata risalah Islam. Ia dianggap telah mampu memperagakan pribadi Nabi dalam menghadapi masalah-masalah sulit, kejadian-kejadian yang berat dan dalam melaksanakan perintah-perintah penting.

2.  Proses penghancuran makar Quraisy yang dilakukan Ali dengan memakai kain Nabi yang biasa dipakai oleh Rasulullah saw dan tidurnya di pembaringan Nabi menunjukkan hubungan kekerabatan sebagai daya rekat paling awal. Ditegaskan lagi,  daya rekat awal ini ditunjukkan dengan ungkapan “jiwa Ali  adalah jiwa Rasulullah saw”. Khususnya, ketika Ali menyelesaikan dengan baik tugas-tugas penting lainnya berkenaan dengan masalah materi dan sosial yang terkait  erat dengan Nabi.

3.  Tinggalnya Ali tinggal selama tiga hari di kota Mekkah membuktikan keberaniannya. Ia dengan berani mengumumkan sikap awalnya. Ia tepat di atas jalur yang disiapkan oleh Nabi. Ia melakukan perintah Nabi dengan ketenangan yang penuh. Setelah menyelesaikan semua itu, dengan keberanian penuh ia mengumumkan di hadapan orang-orang Quraisy, bahwa ia akan melakukan hijrah ke Madinah.

4.  Tidurnya Ali di pembaringan Nabi menyingkap sisi-sisi lain dari keagungan kepribadian yang dimilikinya. Keagungan kepribadian Ali dapat dinilai dari selain keberanian, yaitu kekuatan jiwa yang luar biasa, kekuatan badan, kematangan intelektual, kesadaran mutlak akan risalah dan kepatuhannya terhadap perintah-perintah Allah.

Periode Ketiga: Ali dari Hijrah hingga Wafat Nabi

Ali dan Persaudaraan

Setibanya di Madinah, Nabi mulai berusaha untuk membentuk basis masyarakat Islam. Nabi ingin menguatkan dan merekatkan hubungan antarindividu masyarakat. Langkah awal yang dilakukannya adalah mempersaudarakan sesama muslim secara terang-terangan agar merasuk lebih dalam dan menjadi fondasi dasar dari prinsip-prinsip Islam yang mudah. Persaudaraan yang lebih rekat dan dekat dibutuhkan dalam dakwah sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Oleh karenanya, persaudaraan ini untuk pertama kalinya dilakukan oleh Rasulullah saw di Mekkah sebelum hijrah. Pada waktu itu, Nabi mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar.

Seandainya ingin diteliti lebih dalam proses persaudaraan yang dilakukan Nabi, ditemukan bahwa Nabi menyamakan bentuk dengan bentuk yang sama dan posisi dengan posisi yang sama.[59] Hal ini dilakukan karena proses persaudaraan sebenarnya adalah program strategi luas yang memiliki makna pergerakan menuju ke arah dakwah Islam. Persaudaraan yang dilakukan merupakan elemen pengantar dan penguat hubungan antara kaum muslimin yang hasilnya adalah kematangan pemikiran dan usaha-usaha untuk melakukan hal-hal yang baru sebagai wujud kreativitas.

Diriwayatkan bahwa ketika Nabi mempersaudarakan antara para sahabat, ia mempersaudarakan Abu Bakar dan Umar, antara Utsman dan Abdurrahman bin ‘Auf, sementara beliau belum juga mempersaudarakan Ali bin Abi Thalib dengan seorang pun dari sahabat yang lain.[60]

Kemudian Ali berkata: “Wahai Rasulullah! Aku hampir kehilangan semangatku dan punggungku seakan patah ketika aku melihat apa yang kau lakukan dengan mempersaudarakan para sahabatmu. Apa yang akan engkau lakukan padaku dan orang yang akan menjadi saudaraku, bila belum ditentukan seseorang menjadi saudaraku karena sulit, maka engkau adalah kerelaanku dan kehormatanku”.

Rasulullah saw. mendengar itu langsung berkata: “Demi Zat yang mengutusku dengan kebenaran, aku tidak mengakhirkan persaudaraanmu kecuali untukku. Posisimu di sisiku bak posisi Harun di sisi Musa. Hanya saja, sepeninggalku tidak ada Nabi setelahku. Engkau adalah saudara dan pewarisku".

Ali bertanya: “Aku mewarisi apa darimu?”

Rasul Allah menjawab lagi: “Ketika Nabi-nabi sebelumku mewariskan sesuatu, itu berupa Kitab Allah dan sunah-sunah nabi mereka. Engkau akan bersama denganku di istanaku di surga.[61]

Sementara persaudaraan kedua dilakukan di Madinah beberapa bulan setelah hijrah.[62]

Pernikahan Ali dan Fathimah a.s.

Kaum muslimin menetap tenang di Madinah. Dimulailah pokok-pokok dan ajaran-ajaran Islam merasuk ke dalam jiwa kaum muslimin. Semakin tampak kekuatan kaum muslimin melindungi Islam dan Nabi Islam. Semakin terbuka hubungan antara kaum muslimin dalam bentuk masyarakat yang semakin berbudaya dan terjadi loncatan perubahan pemikiran masyarakat yang sangat luas. Rasulullah saw. adalah pengawal semua perubahan ini. Ia adalah seorang yang dijaga oleh Allah dalam pemahaman, menerima dan menyampaikan wahyu, mendidik dan melaksanakan kebijakan-kebijakan sosial-politik.

Pada kondisi ini, tampak pribadi Ali bin Abi Thalib yang telah memasuki usia dua puluh tahun. Ia adalah pemuda terdepan dalam jihad dan melindungi akidah dan dakwah Islam. Ali selalu menyertai Rasulullah saw. dalam setiap langkahnya. Ia telah menyentuh puncak dari jiwa Rasulullah. Ia hidup bersama Nabi. Tidak ada satu pun yang lebih dekat dengannya kecuali Ali.

Setelah berlalu dua tahun dari hijrah, di rumah Nabi tumbuh Fathimah putri Rasulullah sebagai seorang wanita dewasa. Berdatangan beberapa orang untuk meminangnya antara lain; Abu Bakar dan Umar.[63] Mereka seakan-akan berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mendapatkan putri Nabi. Sayangnya, Nabi menolak mereka satu persatu secara sopan dan baik. Beliau berkata, “Aku menunggu perintah Allah terkait dengan pernikahan anakku. Aku merasa senang dengan mereka yang ingin meminang anak ku”.

Ali belum memberanikan diri untuk maju meminang putri Nabi. Rasa malu dan kondisi dirinya yang tidak memiliki apa-apa mencegahnya untuk melakukan itu. Untungnya, sebagian sahabat memberanikannya untuk maju dan meminang anak Nabi. Akhirnya, Ali mendatangi Nabi sambil memandang ke bawah saking malunya. Nabi merasakan apa yang terjadi dalam diri Ali. Beliau menerima Ali dengan senyum dan terbuka. Kemudian beliau memulai bertanya kepada Ali: “Apakah ada sesuatu yang dapat dilakukan dan dibantu untuknya?” Ali menjawab dengan suara yang lemah: “Wahai Rasulullah! Relakah engkau menikahkan Fathimah denganku?”

Nabi menjawab: “Selamat datang”. Kemudian, Nabi  masuk ke kamar Fathimah untuk menyampaikan keinginan Ali. Nabi berkata kepada Fathimah: “Aku telah memohon kepada Allah untuk menikahkanmu dengan ciptaan terbaik-Nya dan makhluk yang paling dicintai. Engkau telah mengetahui dan mengenal keutamaan dan posisi Ali. Hari ini, ia datang untuk meminangmu. Bagaimana pendapatmu?” Fathimah diam. Ia tidak mengucapkan sesuatu apapun. Akhirnya, Nabi keluar sambil berkata: “Diamnya menunjukkan kerelaannya”.

Kemudian Nabi saw. mengumpulkan kaum muslimin dan berpidato kepada mereka. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku untuk menikahkan Fathimah dengan Ali”.

Sejenak Nabi menoleh kepada Ali dan berkata: “Allah memerintahkanku untuk menikahkan Fathimah denganmu. Apakah engkau rela dengan penikahan ini, wahai Ali?” Ali menjawab: “Aku rela wahai Rasulullah”. Kemudian ia menundukkan wajahnya ke tanah bersujud mengucapkan syukur kepada Allah.

Nabi berkata: “Semoga Allah memberkati kalian berdua. Semoga Allah memberikan keturunan yang banyak dan baik kepada kalian berdua”.

Ali membawa mahr (mas kawin) dari hasil jual baju perangnya. Ia meletakkannya di hadapan Nabi saw. Beliau meminta Abu Bakar, Bilal, Ammar bin Yasir, dan beberapa sahabat serta Ummu Aiman untuk membeli perlengkapan perkawinan. Ketika perlengkapan telah terkumpul, diletakkan di hadapan Nabi. Nabi melihat-lihat perlengkapan perkawinan itu bahkan di bulak balik seraya berkata: “Semoga Allah memberkati kaum yang besar perabot-perabotnya”.

Kesederhanaan dan ketakterpaksaan acara perkawinan selesai sudah. Perabot-perabot yang dimiliki sangat sederhana dari yang dikenal oleh masyarakat Madinah. Nabi dan Bani Hasyim membuat acara menyambut perkawinan sederhana namun penuh dengan kebaikan dan keberkatan.[64]

Diriwayatkan bahwa Nabi kemudian menggambarkan pernikahan Fathimah putrinya: “Seandainya Allah tidak menciptakan Ali bin Abi Thalib, niscaya Fathimah tidak memiliki seseorang yang dapat menyamainya untuk menjadi suaminya (kafa’ah)”.

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa pada saat Ali datang meminang Fathimah, Nabi berkata: “Seandainya tidak ada engkau maka Fathimah tidak memiliki kufu’ (yang sebanding) di atas bumi”.[65]

Ali Bersama Nabi Dalam Peperangan

Ali di Perang Badr

Dengan melakukan hijrah, Nabi telah membuka ufuk baru dalam sejarah manusia secara umum dan sejarah dakwah Islam secara khusus. Hijrah adalah permulaan bentuk sebuah negara. Dan semakin jelas kekuatan kaum muslimin. Di sisi lain, Quraisy dan kaum musyrikin Madinah seperti Yahudi dan kaum munafikin yang berpura-pura menjadi muslim menutupi rencana rahasia mereka menghancurkan Islam dan pengikut-pengikutnya. Namun, mereka salah menebak sikap Nabi. Beliau menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dengan bijaksana. Tentu saja, beliau tidak akan mungkin mengambil sikap seperti orang yang lemah di hadapan rencana busuk musuh-musuh Islam. Untuk menanggulangi hal itu, terkadang beliau mengirimkan sekelompok pasukan kecil melakukan manuver untuk menakut-nakuti mereka.

Letak kota Madinah sangat strategis. Madinah berada pada lalu lintas para pedagang yang menghubungkan jazirah Arab. Dengan semakin bertambah jumlah kaum muslimin, mereka patut diperhitungkan oleh pedagang-pedagang yang mempergunakan Madinah sebagai rute perdagangannya.

Semenjak Ali bin Abi Thalib menjejakkan kakinya di kota Madinah, dimulailah pembangunan di segala bidang yang dituntut oleh dakwah Islam. Ali selalu bersama-sama Rasulullah saw; membangun negara dan mengembangkan dakwah Islam. Tentunya, ini semua dapat dilakukannya karena inayah Allah kepadanya. Segala kekuatan yang diberikan kepadanya dimanfaatkan untuk kepentingan agama yang sulit dilakukan oleh orang lain, bahkan oleh sejumlah orang secara bersama-sama.

Ali bin Abi Thalib mempunyai sebuah baju perang pemberian Nabi. Ini menjadi sebuah petanda penting di setiap peperangan yang diikutinya. Selayaknya, setiap peperangan paling penting yang diikuti oleh sebuah negara adalah yang pertama kali dilakukan. Siapa yang muncul sebagai pemenang akan menjadikan peperangan adalah keuntungan untuknya. Demikian ini terjadi dalam perang Badr.[66] Perang Badr dapat dikatakan sebagai awal keruntuhan segala kekuatan militer di Jazirah Arab secara umum, dan Quraisy secara khusus. Di sisi lain, perang Badr adalah pembukaan kemenangan-kemenangan yang diraih oleh kaum muslimin.

Diriwayatkan bahwa kedua bersaudara ‘Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah disertai Al-Walid bin ‘Utbah dalam perang Badr mewakili Quraisy untuk berduel dengan kaum muslimin. Pada awalnya, pihak kaum muslimin diwakili oleh dua bersaudara ‘Auf dan Mu’awwidz bin ‘Afra disertai Abdullah bin Rawahah. Ketiganya dari kaum Anshar. Ketika ditanya oleh pihak Quraisy: "Siapa kalian?" Mereka menjawab: "Kami dari kaum Anshar". Mereka kemudian berkomentar: “Kalian orang-orang mulia, sayangnya kami tidak merasa berpentingan untuk berduel dengan kalian, tidak ada gunanya. Kami ingin berduel dengan kaum kami yang setara dengan kami”.

Mendengar tantangan itu, Nabi memerintahkan pamannya Hamzah dan ‘Ubaidah bn Al-Harits serta Ali untuk berduel menghadapi lawan. Mereka kemudian saling mendekat dan memulai peperangan. Ubaidah bin Al-Harits menghadapi ‘Utbah. Hamzah berhadapan dengan Syaibah. Sementara Ali ditantang oleh Al-Walid. Hamzah tidak memberi kesempatan lebih lama kepada Syaibah untuk menghirup napas lebih lama. Hamzah membunuh Syaibah. Ali juga membunuh Al-Walid. Sementara itu, ‘Ubaidah dan ‘Utabah telah berhasil melukai lawannya masing-masing sebanyak dua kali. Melihat keadaan itu, Ali dan Hamzah secepatnya mendekati ‘Utbah dan membunuhnya.[67]

Duel terhenti dengan kemenangan pihak muslimin. Setelah itu, peperangan kedua belah pihak tidak terelakkan lagi. Peperangan antara dua kekuatan perang yang tidak seimbang. Pasukan kaum muslimin berjumlah 313 orang yang berperang dengan penuh keimanan untuk membela akidah dan melindungi kebenaran yang telah memanggil mereka ke jalannya. Pada kesempatan itu, ada faktor lain yang membantu semangat kaum muslimin. Faktor tersebut adalah doa yang dipanjatkan oleh Nabi untuk menguatkan dan menambah keberanian kaum muslimin. Kemantapan sikap Nabi, keberanian Hamzah, kekuatan Ali dan para pahlawan kaum muslimin yang terus mendesak pasukan Quraisy. Ini semua seakan-akan membuat mereka lupa akan diri dan banyaknya jumlah pasukan musuh. Terlihat kepala-kepala yang mulai terpisah dari badannya. Allah memberikan bantuan kepada kaum muslimin dengan kekuatan, kepastian dan kemantapan. Hasilnya, kaum muslimin mampu menawan sejumlah orang yang tidak mampu melarikan diri dari medan pertempuran. Mereka yang ditawan berjumlah tujuh puluh orang. Sementara yang terbunuh dari Quraisy berjumlah tujuh puluh dua orang.

Disebutkan dalam riwayat bahwa di antara kaum muslimin yang paling banyak membunuh musuh adalah Ali bin Abi Thalib. Ia sendiri berhasil membunuh sekurang-kurangnya 16 orang dan ikut serta bersama yang lain membunuh dua puluh delapan orang lainnya. Tampaknya, kebanyakan mereka yang dibunuh oleh Ali terhitung para pahlawan dan tokoh Quraisy.[68]

Diriwayatkan, ada seorang dari Bani Kinanah menemui Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah bertanya padanya: “Apakah engkau ikut dalam perang Badr?” “ya”, jawabnya. ‘Bila demikian, ceritakan padaku apa yang kau saksikan dalam perang Badr!”, pinta Muawiyah.

Ia kemudian bercerita: “Kami berada di medan perang namun sepertinya tidak sepenuhnya berada di sana. Pada awalnya, kami tidak yakin akan dapat memenangkan peperangan. Yang ada hanya keraguan dapat menang”. Muawiyah tidak sabar. Ia kembali meminta untuk diceritakan apa yang disaksikannya. “Gambarkan kepadaku apa yang kau lihat!” perintah Muawiyah.

Ia memulai ceritanya: “Aku melihat Ali bin Abi Thalib sebagai anak muda yang gagah berani, sangat kuat. Ia mendobrak pertahanan musuh. Tidak ada yang dapat bertahan di hadapannya kecuali pasti terbunuh. Bila ia memukul sesuatu pasti akan hancur dan mati. Saat itu, aku tidak melihat seorang yang paling mengorbankan dirinya seperti Ali bin Abi Thalib. Ia menyerang dan maju ke depan. Matanya dengan tajam menyapu musuh yang ada. Ali bagaikan serigala yang siap menerkam mangsanya. Seakan-akan ia mempunyai mata lagi di belakang kepalanya. Ia melompat menerkam musuh-musuhnya dengan sangat liar”.[69]

Ali di Perang Uhud

Quraisy masih belum bisa melupakan kekalahan yang dideritanya dalam perang Badr. Pada perang Badr, banyak tokoh-tokoh Quraisy yang terbunuh. Para pahlawan perang yang dibanggakan oleh mereka pun banyak yang tewas. Mengingat ingat kekalahan ini memunculkan keinginan yang sangat kuat untuk membalas kekalahannya dan mengembalikan reputasinya di kalangan Arab yang hilang setelah kekalahan di perang Badr. Tidak lebih setahun dengan propaganda yang matang, mereka telah mampu mengumpulkan pasukan yang cukup besar. Para sekutu Quraisy seperti orang-orang musyrikin dan Yahudi turun tangan ikut membantu. Kali ini semua kebencian bersatu untuk ditumpahkan  ke atas pasukan Islam. Mereka sepakat. Kekuatan kebatilan telah bersatu untuk memerangi kebenaran. Pasukan Quraisy dan sekutunya bergerak menuju Madinah dengan kekuatan tiga ribu  pasukan. Pergerakan mereka menuju Madinah dimulai pada awal-awal bulan Syawal tahun ketiga hijrah.

Pergerakan pasukan Quraisy diketahui oleh Nabi. Rasulullah kemudian mengumpulkan kaum muslimin dan bermusyawarah dengan mereka untuk mengambil sikap dan strategi yang tepat. Nabi berpidato di hadapan kaum muslimin mengajak mereka untuk berperang, kesabaran dan kemantapan hati. Nabi memberikan janji bahwa dalam peperangan ini sekali lagi kita akan menjadi pemenangnya sekaligus mendapat pahala. Kaum muslimin kemudian mempersiapkan segala sesuatunya untuk keluar berperang. Jumlah mereka sekitar seribu pasukan lebih sedikit. Nabi memberikan benderanya kepada Ali bin Abi Thalib. Panji-panji lainnya dibagikan kepada tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar. Di sini muncul sikap munafik dari sebagian pasukan yang pada gilirannya berdampak pada melemahnya kekuatan pasukan muslimin. Di pertengahan jalan, Abdullah bin Ubay dan para pengikutnya kembali pulang ke Madinah dan urung untuk ikut berperang. Jumlah mereka sekitar tiga ratusan orang.[70]

Kondisi itu tidak menurunkan semangat Nabi dan yang lainnya. Mereka tetap melanjutkan perjalanannya hingga sampai ke bukit Uhud. Nabi menyiapkan pasukannya untuk bertempur. Ia membuat rencana yang paling tepat dan jitu untuk menghadapi peperangan dan dapat meraih kemenangan. Beliau menyiapkan lima puluh orang pemanah di balik gunung untuk berjaga-jaga jangan sampai ada pasukan yang menyerang dari arah belakang. Ia mewanti-wanti mereka untuk tidak meninggalkan posisi ini. Mereka harus tetap di situ sekalipun semua kaum muslimin terbunuh.[71]

Quraisy tiba di Uhud. Pasukan disiapkan untuk berperang. Pasukan Quraisy dibagi menjadi beberapa bagian dan memiliki tugas sendiri-sendiri. Bendera Quraisy diberikan kepada Bani Abd Ad-Dar. Yang pertama memegang bendera itu adalah Thalhah bin Abi Thalhah. Ketika Nabi mengetahui bendera Quraisy di tangan Thalhah, beliau segera mengambilnya dari tangan Ali bin Abi Thalib dan menyerahkannya kepada Mush’ab bin ‘Umair. Ia juga dari Bani Abd Ad-Dar. Bendera itu tetap bersamanya hingga ia terbunuh. Setelah ia terbunuh, bendera dikembalikan kepada Nabi yang kemudian diserahkan kembali kepada Ali.[72] Perang Uhud terjadi di bulan Syawal tahun ketiga Hijriah.

Setelah persiapan peperangan telah sempurna, perang dimulai ketika pembawa bendera Quraisy Thalhah bin Abi Thalhah maju sambil membawa bendera. Ia termasuk salah satu jawara dalam medan pertempuran. Ia maju ke depan kaum muslimin sambil berteriak menantang mereka sekaligus memberi semangat pasukannya. Ia berkata: “Wahai sahabat-sahabat Muhammad! Bukankah kalian beranggapan bahwa Allah dengan pedang kalian dapat mempercepat kami memasuki pintu neraka, sementara pedang kami dapat mengantarkan kalian lebih cepat memasuki surga?! Apakah ada di antara kalian yang sudah tidak sabar memasuki pintu surga dengan pedangku ini, atau ada yang ingin membuatku cepat-cepat masuk neraka dengan pedangnya?”

Ali keluar dari barisan pasukan memenuhi tantangannya. Mereka berdua berdiri di antara pasukan masing-masing, sementara Nabi memandang duel ini sambil duduk di atas tikar yang disiapkan untuknya. Nabi mengawasi pertempuran sambil waspada pertempuran. Terlihat Ali mengayunkan pedangnya ke arah kaki Thalhah memisahkan kakinya dari badannya. Setelah kakinya terpotong oleh tebasan pedang Ali, Thalhah kemudian terjatuh. Berbarengan dengan jatuhnya Thalhah bendera yang bersamanya pun terjatuh. Ali segera berlari secepatnya ke arah Thalhah. Namun, apa yang terjadi? Thalhah membuka pakaian bagian bawahnya dan memperlihatkan kemaluannya. Ia lalu bersumpah atas nama Allah dan kasih sayang-Nya. Melihat gelagat Thalhah, Ali langsung meninggalkannya. Rasulullah kemudian mengucapkan takbir yang kemudian diikuti oleh para sahabat. Semua bergembira dengan duel yang dimenangkan Ali bin Abi Thalib.

Melihat Thalhah terjatuh, adiknya, Utsman bin Abi Thalhah segera maju ke depan mengambil bendera. Hamzah bin Abdil Mutthalib maju menyerangnya dan berhasil membunuhnya. Duel belum berhenti, saudara lain mereka yang bernama Abu Said segera mengambil bendera Quraisy, namun Ali tidak membiarkannya. Ali maju menyerangnya dan kemudian membunuhnya. Arthah bin Syarahbil berusaha menyelamatkan bendera Quraisy, namun, lagi-lagi Ali maju menghadangnya dan melakukan duel. Ali berhasil membunuhnya. Begitulah seterusnya hingga sembilan orang dari pihak Quraisy yang berniat mengambil bendera dari Bani Abd Ad-Dar dan Ali dan Hamzah dengan gagah perkasa membunuh kesembilan orang tersebut.

Orang terakhir dari Bani Abd Ad-Dar yang memegang bendera Quraisy adalah seorang pemuda dari Bani  Abd Ad-Dar yang biasa dipanggil As-Shawab. Ali menyerang dan kemudian membunuhnya. Bendera terjatuh di tengah medan pertempuran. Tidak ada satu pun dari Quraisy yang berani untuk mengambilnya. Orang-orang Quraisy mulai dihinggapi rasa ketakutan. Semangat berperang pun mulai luntur. Kaum musyrikin mulai merasa bahwa mereka akan terbunuh dan kaum muslimin akan menguasai wanita-wanita mereka. Peperangan pun dimulai namun seakan-akan peperangan akan berpihak pada kemenangan kaum muslimin.

Kemenangan yang sudah di depan mata kemudian berubah menjadi sebuah malapetaka yang besar bagi kaum muslimin. Para pemanah yang disiapkan Nabi di bukit untuk menangkal pasukan yang akan datang dari belakang turun meninggalkan posisi mereka. Mereka turun ikut serta dengan kaum muslimin lain yang tengah memungut harta rampasan. Di atas bukit yang tersisa hanya sepuluh pemanah.

Khalid bin Al-Walid, pemimpin pasukan berkuda Quraisy, melihat bahwa bukit telah kosong dari pasukan pemanah. Yang tinggal Cuma beberapa orang. Ia kemudian mengajak pasukannya menyerang para pemanah yang masih tinggal dan kemudian membunuh semuanya. Ikrimah adalah salah seorang yang ikut dalam pasukan Khalid. Setelah berhasil melumpuhkan pasukan pemanah, kekuatan berbalik menguntungkan Quraisy. Peperanganpun berpihak ke Quraisy. Mereka mampu menekan dan mengobrak-abrik  barisan kaum muslimin.[73] Kenyataan ini laksana sebuah tragedi besar yang pernah dialami kaum muslimin dan sulit untuk dilupakan. Kaum muslimin terombang-ambing seakan-akan kebenaran mereka telah lenyap. Mundur dan kehancuran setelah kemenangan. Kaum muslimin berhamburan tidak karuan. Para sahabat meninggalkan Nabi, menyerahkannya seorang diri kepada musuh. Itu juga setelah Hamzah, paman Nabi, terbunuh bersama Mush’ab bin Umair. Hanya tertinggal beberapa orang dari Muhajirin dan Anshar yang bersama Nabi. Salah satunya adalah Ali.

Pada kondisi yang sangat kritis ini, sejarah mencatat peran penting dan pengorbanan seorang Ali kepada Rasulullah saw. Ali bin Abi Thalib berusaha sekuat tenaga melindungi Nabi. Yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana Nabi dan Islam bisa selamat. Ia memegang bendera di satu tangannya dan pedang di tangannya yang lain. Ia berusaha menahan pasukan yang menyerang Nabi sekaligus membubarkan mereka. Ia seorang diri bak sebuah pasukan yang terlatih dan dengan persiapan yang matang. Rasul Allah setiap kali melihat ada segerombolan pasukan yang hendak menyerangnya, memerintahkan Ali untuk menyerang mereka. Ali secepat kilat mengarahkan pedangnya kepada mereka dan memorak-porandakan pasukan itu. Ia senantiasa berperang sehingga terlihat bagaimana ia menderita luka-luka yang banyak. Darah bercucuran dari wajah, kepala, dada, perut dan kedua tangannya.[74]

Pada saat itu, Jibril turun kepada Nabi dan berkata, “Apa yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib adalah kesamaan". Rasulullah kemudian berkata: “Ia (Ali) adalah dariku dan aku darinya”. Jibril kemudian menambahkan: “Dan aku dari kalian berdua". Setalah itu, mereka yang hadir pada waktu itu mendengar suara dari langit yang mengatakan: “Tidak ada pedang seperti Dzul Fiqar dan tidak ada seorang pemuda bagaikan Ali”.[75]

Dengan pengorbanan yang sulit diucapkan, Ali bin Abi Thalib berhasil melindungi keselamatan Nabi. Pengorbanannya membuat kekuatan menjadi seimbang. Tidak ada dari kedua pasukan yang menang secara mutlak.

Kondisi-kondisi Pasca Perang Uhud

Abu Sufyan tidak lagi melanjutkan peperangan. Ia dan pasukannya kembali ke  Mekkah. Rasulullah mengutus Ali dan berkata: “Pergilah ikuti jejak musuh, Perhatikan apa yang dilakukan mereka! Bila mereka masih menuntun kuda namun mengendarai unta, maka mereka pasti menuju Mekah. Namun bila sebaliknya, mereka mengendarai kuda dan menuntun unta, itu artinya mereka sedang menuju Madinah”.

Ali berkata: “Aku keluar menelusuri jejak mereka. Mereka menuntun kuda dan menaiki unta menuju Mekkah".[76]

Nabi kembali ke Madinah. Sesampainya di sana beliau menyerahkan pedangnya kepada anaknya Fathimah seraya berkata: “Anakku, cuci pedang ini dari darah yang masih melekat! Sesampainya Ali bin Abi Thalib, ia menyerahkan pedangnya ke Fathimah. Darah menutupi tangannya hingga bagian pundak. Rasulullah berkata kepada Fathimah: “Wahai Fathimah! Sambutlah Ali. Suamimu telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Dengan pedang itu, ia telah membunuh tokoh dan pahlawan Quraisy”.[77]

Perang Uhud adalah perang yang sangat berat dan kelam untuk kaum muslimin. Perang yang sulit. Namun di samping kesulitan yang dihadapi, dapat disaksikan peran penting Ali bin Abi Thalib yang tidak dapat dipungkiri. Dalam perang Uhud peran dan posisi Ali menduduki tempat tersendiri yang tidak dimiliki oleh sahabat yang lain dan hal itu dikarenakan beberapa hal:

1.  Ali adalah yang memegang bendera Nabi. Bendera itu tidak pernah jatuh, sekalipun sebagian besar kaum muslimin telah melarikan diri dari medan pertempuran.

2.  Ali membunuh para pembawa bendera kaum musyrikin yang mencoba menghadapinya. Ini menunjukkan pengalaman militer dan keberanian yang luar biasa. Akibatnya adalah Ali mampu menggedor dan memorak-porandakan barisan musuh sekaligus penyebab kelemahan pasukan musuh di awal peperangan.

3.  Keteguhan hati Ali untuk tetap berperang di samping Rasulullah saw. dan tidak ikut melarikan diri dari medan peperangan setelah sebagian besar sahabat melarikan diri. Ini menunjukkan keimanan absolut Ali pada Nabi untuk memenangkan peperangan yang telah mengkristal dalam dirinya.

4.  Ali adalah pelindung Rasulullah dari serangan-serangan kaum musyrikin yang hendak membunuh Nabi. Ali bak tameng melindungi Nabi agar tidak ada yang dapat maju mendekati beliau. Ini menunjukkan kebesaran cintanya kepada Nabi dan keinginannya yang begitu besar akan keselamatan Nabi.

5.  Sebagian besar orang Quraisy yang terbunuh jatuh di tangan Ali.[78] Ini sebagai bukti atas tekad aktivitasnya di medan pertempuran, kekuatan dan keberaniannya.

6.  Moral dan nilai-nilai yang mulia yang dipraktekkan Ali di medan perang ketika meninggalkan Thalhah bin Abi Thalhah yang membuka auratnya karena nilai-nilai kehormatan.

7.  Ali adalah yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Senantiasa bersamanya sehingga beliau memintanya untuk menghalau para penyerang. Ali juga yang menangkap tangan Nabi ketika terjatuh di salah satu galian perangkap yang sengaja digali oleh Abu ‘Amir Ar-Rahib.[79] Ali juga yang membawakan air kepada Nabi yang dipakai untuk mencuci darah dan tanah dari wajah dan kepalanya.

8.  Ali menderita banyak luka-luka karena usaha kerasnya melindungi Nabi, namun oleh Nabi ia masih juga diutus untuk menelusuri jejak Quraisy yang tidak melanjutkan lagi peperangan dan kembali ke Mekkah. Ali harus melakukan itu untuk mengetahui apakah benar mereka kembali ke Mekkah atau jangan-jangan hendak ke Madinah. Ini menunjukkan kepercayaan Nabi yang besar kepadanya dan kekuatan serta ketelitiannya. Ali mampu untuk menyikapi kejadian yang terjadi tiba-tiba. Peperangan belum selesai dengan mundurnya pasukan Quraisy.[80]


[56] . Raudhah Al-Kafi, hal 339.

[57] . Bihar Al-Anwar, jilid 19, hal 64. Ibnu Syahr Asub, Al-Manaqib, jilid 1, hal 182. Ibnu Al-Atsir, Al-Kamil, jilid, 2, hal 106.

[58] . Raudhah Al-Kafi, hal 339-340.

[59] . Al-Hafiz Al-Kanji, Kifayah At-Thalib, hal 194.

[60] . Ibnu As-Shibagh Al-Maliki, Al-Fushul Al-Muhimah, hal 38. Allamah Al-Amini, Al-Ghadir, jilid 3, hal 112.

[61] . Dikeluarkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Manaqib Ali. Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq, jilid 6, hal 201. Al-Muttaqi Al-Hindi, Kanz Al-Ummal, jilid 5, hal 40. Kasyf Al-Ghummah, jilid 1, hal 326.

[62] . Al-Kanji, Kifayah At-Thalib, hal 82. Tadzkirah Al-Khawash, hal 14. Al-Fushul Al-Muhimmah, hal 38. Hadis persaudaraan antara Nabi dan Ali dengan ibarat yang agak berbeda dan dalam sumber-sumber yang berbeda-beda seperti; Tarikh Ibnu Katsir, hal 201. Al-Fushul Al-Muhimmah, hal 22. Musnad Ahmad, jilid 1, hal 23. Tarikh Ibnu Hisyam, jilid 2, hal 132. Tarikh Dimasyq, jilid 6, hal 201. Faraid As-Simthain, jilid 1, hal 226. Al-Ghadir, jilid 3, hal 115. Kifayah At-Thalib, hal 185.

[63] . Kasyf Al-Ghummah, jilid 1, hal 353.

[64] . Kasyf Al-Ghummah, jilid 1, hal 348. Bihar Al-Anwar, jilid 43, hal 92. Ath-thabari, Dalail Al-Imamah, hal 16-17.

[65] . Ibnu Syahr Asub, Al-Manaqib, jilid 2, hal 181.

[66] . Perang Badr yang pertama ini disebut perang Badr besar. Perang Badr pertama ini terjadi pada tahun kedua hijriah, tanggal 17 bulan Ramadhan. Sebagian berpendapat terjadi pada tanggal 19.

[67] . Al-Kamil fi At-Tarikh, jilid 2, hal 134-135, cetakan Muassasah Al-‘Alami. Tarikh Ath-thabari, jilid 3, hal 35.

[68] . Al-Mufid, Al-Irsyad, hal 64, bab ke 2, pasal ke 6. Kasyf Al-Ghummah, jilid 1, hal 182.

[69] . Abu Na’im, Hilyah Al-Auliya, jilid 9, hal 145.

[70] . Al-Kamil fi At-Tarikh, jilid 2, hal 150. Sirah Ibnu Hisyam, jilid 3, hal 64.

[71] . Al-Waqidi, Maghazi, jilid 1, hal 224. Al-Kamil fi At-Tarikh, jilid 2, hal 152. Sirah Ibnu Isya, jilid 3, hal 66.

[72] . Tarikh Ath-thabari, jilid 2, hal 199, cetakan Muassasah Al-‘Alami.

[73] . Tarikh Ath-thabari, jilid 2, hal 194, cetakan Muassasah Al-A’lami.

[74] . Al-Kamil fi At-Tarikh, jilid 2, hal 154. A’yan As-Syi’ah, jilid 1, hal 288. Bihar Al-Anwar, jilid 20, hal 54.

[75] . Al-Kamil fi At-Tarikh, jilid 2, hal 154. Al-Hamwini, Faraid As-Simthain, jilid 1, hal 257, hadis 198 dan 199. Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq, jilid 1, hal 148. Raudhah Al-Kafi, haids 90.

[76] . A’yan As-Syi’ah, jilid 1, hal 389. Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, jilid 3, hal 94.

[77] . Ibid, jilid 1, hal 390.

[78] . Al-Irsyad, hal 82, Al-Fashl 23, Bab 2.

[79] . Sirah Ibnu Hisyam, jilid 3, hal 80.

[80] . Kelebihan dan kekhususan Ali dalam perang Uhud telah disebutkan oleh Allamah As-Sayyid Muhsin Al-Amini dalam buku ‘Ayan As-Syi’ah, jilid 1, hal 390.

Back