Satu Islam Untuk Semua

Friday, 11 March 2016

Prof. Al-Bouthi di UI Salemba: Indonesia & Suriah Bersaudara


Setelah hadir di Yogyakarta, Prof. Al-Bouthi hadir kembali dalam sebuah seminar internasional yang digelar oleh Prodi Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia (UI). Sambil menyampaikan rasa terima kasihnya yang mendalam kepada Universitas Indonesia yang memberikan kesempatan hadir di acara yang digelar Kamis sore ini, Prof. Al-Bouthi menyampaikan bahwa Suriah dan Indonesia memiliki hubungan sejak Islam datang ke Indonesia sambil mengutip ayat 103 Ali Imran, “lalu menjadilah kamu, karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.”

Di hadapan sekitar dua ratus peserta seminar di kampus Salemba, Prof. Al-Bouthi menyebut Indonesia sebagai bangsa dengan penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki hubungan dengan Suriah bukan hanya dari segi politik tapi juga kebangsaan dan keagamaan.

Dalam seminar internasional bertajuk Peran Ulama dalam Meredam Krisis Politik dan Ideologi di Timur Tengah itu, Prof. Al-Bouthi menceritakan dirinya pernah ditanya oleh TV9 alasan menggunakan peci hitam. Dia menyatakan bahwa ini untuk menunjukkan kecintaannya yang sangat besar kepada bangsa Indonesia.

Menanggapi paparan soal Arab Spring oleh Dr. M. Lutfi Zuhdi, Prof. Al-Bouthi menjelaskan bahwa yang disampaikannya adalah sebatas informasi yang diperoleh dari media massa. Sementara paparan Dubes RI untuk Suriah, Dr. Djoko Harjanto, menurutnya, bersudut pandang politis yang bersumber dari pengamatan lapangan.

Menurut Al-Bouthi, Arab Spring di Timur Tengah tidaklah bertujuan melengserkan para tiran semata, namun lonceng “fitnah”. Terbukti, setelah lengsernya para tiran itu, konflik tidak serta merta berakhir. Mengapa Bernard-Henri Levy hadir pada demonstrasi di Tunisia, Mesir, Libya, Suriah dan di Yaman? Tujuannya tidak lain hanyalah untuk mencemarkan nama baik Islam di mata dunia. Tujuan tersebut bukan berasal dari dalam negeri sendiri, namun berasal dari asing, yaitu Barat.

Prof. Al-Bouthi mengungkapkan bahwa peran media di Suriah bukan lagi mengutip berita atau peristiwa yang sebenarnya, namun lebih kepada industri atau pembuatan berita dan fitnah yang mengarahkan orang untuk ragu terhadap Islam, membuat guncangan di kalangan masyarakat dari mulai politik, ekonomi, hingga agama. Beliau menyebut langsung Al-Jazeera sebagai media yang memunculkan keraguan dan guncangan tersebut sejak berdirinya 15 tahun silam.

Suriah adalah tujuan akhir dari Arab Spring, katanya. Yang terjadi di Suriah bukanlah pertentangan antar rakyat Suriah tetapi pertentangan yang bersumber dari konspirasi pihak asing. Anehnya, lanjut Prof. Al-Bouthi, yang menuntut demokratisasi di Suriah adalah Qatar dan Arab Saudi yang notabene adalah negara monarki absolut.

Sebagai bangsa yang memiliki kesadaran akan reformasi, sudah seharusnya tidak ada kelompok yang memunculkan pertikaian di jalan-jalan. Pasalnya, reformasi itu seharusnya dilakukan melalui dialog yang beradab dan damai.

Prof. Al-Bouthi memberikan contoh ketika Nabi Muhammad saw mengirimkan surat kepada raja-raja Ethiopia (Najasyi), Romawi (Heraklius) dan Persia (Kisra). Nabi Muhammad hanya menyerukan ajakan untuk memeluk Islam (aslim taslam/peluklah Islam agar selamat). Nabi Muhammad tidak menyerukan mereka untuk lengser sebagaimana yang terjadi di Suriah.

Bangsa Suriah terdiri dari berbagai agama dan aliran seperti Suni, Syiah, Orthodoks, Izidi, Druze, Alawite, Masihi, dan Protestan. Selama ratusan tahun bangsa Suriah hidup damai dalam toleransi atas keberagaman ini. Sebagai contoh di Bab Touma, ada sebuah apartemen yang dihuni oleh warga dari semua agama dan aliran tersebut. Mereka makan bersama, menikah satu sama lain dan saling mengunjungi dalam toleransi. Hal ini disampaikan oleh Dubes Inggris untuk Suriah.

Lagi-lagi Prof. Al-Bouthi menegaskan bahwa konflik sektarian tidak datang dari dalam negeri sendiri, tetapi dari luar negeri. Beliau menyebutkan kronologi munculnya demonstrasi di Damaskus. Tokoh oposisi awal bernama George Sabra, yang beragama Kristen dan berideologi Komunis, memimpin demonstrasi di depan Masjid Agung Damaskus. Tepatnya, setelah ayahnya, alm. Syeikh Said Ramadhan Al-Bouthi, menyampaikan khutbah Jumat di masjid itu.

Kemudian, tokoh lain oposisi adalah Burhan Ghaliyun. Orang ini pernah mencela Nabi Muhammad lalu diusir dari Suriah dan menetap selama 40 tahun di Prancis sambil melanjutkan studi doktoral di Sorbone. Ketika datang ke Suriah digambarkan sebagai pahlawan oleh media massa.

Kedua orang inilah yang menjadi pemicu pertikaian di Suriah. Percayalah bahwa ISIS tidak datang dari langit dan tidak pula tumbuh dari bumi, seloroh Prof. Al-Bouthi.

Ada tiga agenda asing yang disasar dari perang di Suriah. Pertama, pencorengan nama baik Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Bayangkan saja orang-orang Eropa yang datang ke Suriah bukan puluhan tapi berjumlah ribuan orang. Artinya, pihak keamanan negara-negara mereka sangat sadar hal itu. Tapi kepergian mereka dibiarkan bahkan dipermudah. Mereka datang dengan membawa kamera lengkap untuk merekam adegan pembunuhan wanita hamil, pemenggalan leher bahkan adegan teroris yang memakan jantung korbannya. Sepulang dari Suriah, mereka sebarkan semua tayangan itu melalui media massa.

Kedua, perang di Suriah bertujuan untuk mengumpulkan para pendukung negara Islam (baca: ISIS) dari berbagai negeri di dunia di Suriah. Ketiga, menjadikan Suriah sebagai kuburan bagi para pendukung ISIS.

Sebagai anak dari martir, Syekh Sa’id Ramadhan Al-Bouthi, Prof. Taufiq mengerlingkan alisnya ketika menceritakan bagaimana ISIS memotong jalur listrik dan air menuju kota Aleppo dan terjadi pemadaman listrik dan tidak adanya pasokan air selama tiga bulan. Mereka melakukan hal itu sambil bertakbir. Bagaimana mungkin reformasi dilakukan dengan cara-cara keji tersebut? Tanya beliau.

Kemudian beliau mengutip kembali ayat wa’tashimu bihablillah (QS. 3: 103), wala tanaza’u fatafsyalu (QS. 8: 46) dan ud’u ila sabili rabbika (QS. 16: 125). Beliau menyebut hadis Nabi Muhammad saw, “Seorang Muslim dengan Muslim lainnya seperti bangunan yang kokoh.” Lebih jauh Nabi saw juga menegaskan, “Siapa menyakiti orang-orang Dzimmi (non-Muslim), maka akan berhadapan dengan aku pada hari kiamat nanti.” Jika Nabi saja melarang menyakiti non-Muslim, bagaimana halnya dengan saudara-saudara kita yang masih satu aqidah? Tambahnya.

Seminar internasional itu juga menghadirkan KH. Hasyim Muzadi (Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI) sebagai narasumber pamungkas dan ditutup sebelum Magrib dengan berfoto bersama.[]

Tom/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *