Pages

Selasa, 26 November 2013

Refleksi Aktualisasi Budaya Populer

Refleksi Aktualisasi Budaya Populer
JATI DIRI BANGSA NASIBMU KINI

Sekilas pandang

Kemajuan teknologi yang membawa dampak globalisasi adalah realitas yang mau tidak mau harus dihadapi seiring dengan perkembangan jaman itu sendiri.  Apa yang sedang dan telah terjadi di seluruh muka dunia kini kini dapat dilihat  dan bahkan digenggam melalui perantara media massa. Semakin canggihnya penemuan teknologi cetak, perekam suara atau gambar, menghasilkan koran, majalah, tabloid, radio, maupun televisi yang tiap hari bahkan tiap detik mengekspose informasi segala peristiwa dan juga menyuguhkan tawaran-tawaran gaya hidup. Realitas ini berimplikasi pada perubahan paradigma masyarakat dalam menyikapi suatu kehidupan, terutama pada generasi muda yang kerap phobia agar tidak dikatakan ketinggalan jaman. Lahirlah, sebuah gaya hidup baru yang dimotori anak-anak muda yang selalu mengatasnamakan dirinya sebagai “agen modernitas”. Sebagian remaja laki-laki akan merasa percaya diri dan menjadi anak jaman saat berpenampilan sedemikian rupa. Yang merasa mewakili golongan strata masyarakat bawah mendandani rambutnya agar dapat berdiri keatas mirip binatang landak, menempeli pakaiannya dengan pernik-pernik logam mirip deretan bintang di langit, coret-coret tembok dengan cat semprot menorehkan kata-kata yang sulit dibaca, nongkrong  di perempatan jalan raya, menyanyikan lagu yang banyak teriak-teriak dengan anggapan sebagai aspirasi perlawanan terhadap kekakuan kemapanan. Sedangkan remaja yang lain dengan meniru kaum menengah ke atas, mencoba tampil gaya dengan busana dari pabrik ternama walaupun sekedar tulisan saja, pakai parfum yang dapat membuat bidadari lupa diri, nongkrongnya di “Kang Jastro CafĂ©”, makan dan minum dengan menu asal bahasa asing, pilihan lagunya yang merengek-rengek menunjukkan kalau lagi jatuh cinta.

Fenomena seperti ini telah masuk dalam praktik-praktik kehidupan serta telah menjadi bagian dari munculnya budaya baru. Keberadaan budaya baru ini membius dan menjadikan lupa bahwa kita telah menjadi konsumen empuk para pelaku industri yang menjajakan dagangannya melalui sarana “pop culture”.  Tak bisa dipungkiri bahwa telah banyak dan bermacam-macam bentuk  “budaya asing” yang kita konsumsi dan dibanggakan lewat sosok-sosok yang mengatasnamakan dirinya bagian dari “masyarakat modern”. Bahkan, keberadaan budaya baru ini telah mendominasi dan memegang kendali dalam realitas kehidupan serta mampu melindas sedikit demi sedikit dan akhirnya menggeser budaya lokal hingga tersudutkan dan terlempar dari lingkungan masyarakatnya. Tanpa sadar, kita telah terjebak dalam perangkap suguhan praktik-praktik yang mengusung budaya asing itu, dan memaksa menjadi bagian hidup dengan menganggap sebagai bagian dari masyarakat modern, tanpa memiliki kesadaran sama sekali apakah hal tersebut pantas atau tidak, sesuai atau tidak dengan kultur kebudayaan lingkungan kita.

Kehadiran  ”Budaya Populer” atau disebut juga dengan ”Budaya Pop” ditengah-tengah masyarakat kita tanpa disertai dengan filter pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran diri terhadap nilai budaya sendiri hanya akan membawa dampak besar terhadap keberadaan kebudayaan setempat yang menurut kesesuaian karakter masyarakat memiliki nilai-nilai luhur. Tergesernya budaya setempat dari lingkungannya sendiri, disebabkan oleh kemunculan sebuah kebudayaan baru yang didukung oleh putra-putrinya sendiri dan konon sebagai alasannya dianggap lebih atraktif, fleksibel dan mudah dipahami. Dalam membahas ”Budaya Populer”, yang selalu dihadapi adalah pemahaman yang multi persepsi hingga menimbulkan penafsiran yang beragam. Namun yang perlu direnungkan adalah bagaimanapun bentuknya jika sudah diusung oleh industri maka yang dihasilkan hanyalah kebudayaan instan yang berujung pada komersialisasi dan bagi konsumennya hanya menghasilkan peradaban dangkal pemikiran, tanpa nilai, pengkaburan makna, cari sensasi, berjiwa konsumtif dan hedonis.

Pengertian Budaya Populer

Untuk meminimalisir multi persepsi  terhadap definisi Budaya Populer, maka dapat dipilah menurut akar kata, yakni Budaya dan Populer.    Pengertian mengenai  kebudayaan (culture) sangatlah kompleks, masing-masing ahli merumuskan dengan kalimat yang berbeda walaupun menuju ke pengertian umum yang sama, yaitu sebagai pengembangan akal budi manusia. “Budaya” berasal dari bahasa Sanskerta yaitu, buddhaya  yang merupakan bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Budaya juga dapat diartikan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Dalam perkembangannya, definisi budaya dapat diartikan sebagai pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu (Raymond William : 1983). Sedangkan kata ”Populer”, Williams memberikan makna yang mengandung pengertian yakni : (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri (Williams, 1983). Dari tataran ini dapat disimpulkan bahwa istilah Budaya Populer dapat juga diterjemahkan dengan pengertian suatu aktifitas atau praktik-praktik sosial yang bisa menyenangkan orang dan disukai oleh banyak orang.


Makna Semu dan Distorsi Nilai

Awalnya, kebudayaan populer atau kebudayaan pop (pop culture) bersifat massal (umum), komersial, terbuka, dan lahir dari rakyat, dan tentunya disukai rakyat. Sehingga kebudayaan pop dikategorikan sebagai kebudayaan rakyat (folk culture), atau kebudayaan rendah (low culture). Bentuknya berupa musik, tarian, teater, gaya, ritual sosial, dan bentuk lain yang bersifat tradisional. Tumbuh pada tingkatan bawah (grass-root) sebagai perwujudan eksistensi dengan akses yang terbatas dan dicirikan dengan kesederhanaan. Oleh karena itu, kebudayaan pop dapat disimpulkan sebagai produk kultural yang berasal dari rakyat bawah.  Namun dalam perkembangannya, dan ini terutama yang terjadi di negeri ini, dengan difasilitasi oleh berbagai media yang telah memberikan suguhan berupa keanekaragaman tentang pola hidup dari bangsa-bangsa Barat termasuk memuat perilaku artis, model pakaian,  dan pernik-pernik penunjang gaya hidup sangat mengundang perilaku para remaja kita untuk cenderung mengikutinya secara harfiah. Dengan menangkap indikasi mentalitas para generasi muda kita, para produsen produk itu, menyebarkan perangkap melalui iklan media baik cetak maupun elektronik dengan gambar dan teks yang telah direkonstruksi, sehingga membuat target sasaran yang diincar semakin ketagihan dibuatnya.

Pergeseran makna dan nilai tampak terlihat pada aktualisasinya saat diterjemahkan oleh para remaja kita. Mengacu pada pengertian umum “kebudayaan populer” dan ketika menjadi bidikan kaum industriawan untuk dijadikan menu dagangan, membuat para konsumen awam cenderung mengikuti sehingga dijadikan “gaya hidup”. Hal ini, pada tingkat implementasinya ke masyarakat terutama di Indonesia, menjadi bias bahkan mengalami pergeseran baik secara makna maupun nilai.

Pertama,  titik awal yang menyatakan bahwa budaya pop banyak disukai orang. Ini dapat kita lihat bagaimana peranan media terutama televisi yang selalu menayangkan acara demi acara dengan hanya menekankan prinsip kesenangan tanpa menyertakan sifat-sifat mendidik. Tayangan sinetron, infotaintment atau sejenisnya merupakan  acara yang memiliki prosentase lebih banyak dalam jam tayang televisi. Dari sini kita dapat melihat bahwa sasaran konsumen adalah ‘mimpi’ anak muda. Tema asmara, dengan tokoh anak muda yang kaya dengan berbagai fasilitasnya, tak peduli apakah hal ini realistis atau tidak dengan kondisi sosial bangsa mampu mencipta ‘mimpi baru’ bagi kita. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah tema cerita “rebutan cinta” dengan setting ruang sekolah (SMA), tokoh-tokohnya menggunakan seragam sekolah. Kemudian yang tak ketinggalan tingginya terpaan massa adalah acara ngrumpi yang dikemas dalam program infotaintment.  Hampir seluruh stasiun TV yang ada memiliki acara dengan konsep serupa, yaitu mengupas tuntas perilaku orang-orang yang dinobatkan sebagai selebritis. Mulai dari artis A yang sedang berdekatan dengan artis B, perselingkuhan artis C dengan artis D, keretakan rumah tangga artis E dengan artis F akibat hadirnya artis G, pakaian sepatu dan assesories yang dipakai artis H, sampai ke hal-hal yang bersifat privasi dieksplorasi habis-habisan yang anehnya menjadi suguhan yang disukai dan cenderung dijadikan teladan gaya hidup.

Kedua, “populer” yang didefinisikan sebagai jenis kerja rendahan. Kata “rendahan” disini mengacu pada strata masyarakat yakni kelas masyarakat rendah atau rakyat jelata. Sejarah terciptanya budaya populer secara umum memang berasal dari rakyat rendahan sebagai alat perjuangannya dalam memenuhi kebutuhan eksistensinya. Menurut John Fiske (1989), budaya populer merupakan sebuah wujud alat perlawanan terhadap budaya dominan.

Pada periode atau abad sebelumnya di banyak bangsa terdapat kesenjangan antara “kebudayaan tinggi” (high culture)  dengan “kebudayaan rendah” (low culture). Kesenjangan strata ini tersekat oleh dinding yang tinggi dan masing-masing terpisah atau berdiri sendiri. Kebudayaan tinggi (high culture), seringkali diidentikkan dengan yang bersifat khusus dan tertutup,  lahir dari kalangan atas (kaum elite). Kebudayaan ini dianggap bernilai luhur dan adiluhung serta memiliki standarisasi yang tinggi menyangkut selera, kualitas, dan estetika. Sedangkan kebudayaan rendah (low culture) atau kebudayaan rakyat (folk culture) yang kemudian diistilahkan sebagai kebudayaan popular (pop culture) diidentifikasi sebagai spontanitas, vulgar, serta dianggap berselera rendah. Namun dengan kekuatan pertahanan loyalitasnya dan berhasil menjadi bentuk kebudayaan baru, dimanfaatkan oleh kaum industri sebagai pangsa pasar yang menjanjikan. Lambat laun, dengan bantuan media (juga termasuk industri), kebudayaan populer dapat menembus sekat dan diterima oleh khalayak luas. Pada perkembangannya, akibat pengaruh dari industri produk barang maupun media dengan kekuatan iklan, budaya populer berkembang menjadi Budaya Massa. Burhan Bungin (2009) menyatakan Budaya massa adalah hasil budaya yang dibuat secara massif demi kepentingan pasar. Budaya massa lebih bersifat massal, terstandarisasi dalam sistem pasar yang praktis, heterogen, lebih mengabdi pada kepentingan pemuasan selera.

Pergeseran makna dan nilai yang terjadi dalam pengaktualisasian budaya populer di sekitar kita adalah kurangnya pengetahuan dan pehamanan tentang spirit budaya populer sebagai alat perjuangan eksistensi masyarakat bawah. Musik rock di Eropa dengan lirik lagunya berisi tentang protes sosial, musik reggae di Jamaica adalah pemberontakan terhadap kekakuan ideologi kekuasaan, komunitas punk di Amerika adalah perlawanan terhadap arogansi kemapanan, dan lain sebagainya. Namun di tangan kita bentuk aktualisasinya hanyalah menjadi konsumen belaka dan memang hal seperti inilah yang diinginkan oleh para kaum industri. Fenomena seperti ini bisa kita lihat, bagaimana larisnya produksi barang-barang dengan mengambil ikon Che Guevara, Bob Marley atau tokoh sejenis, berupa poster, kaos, emblem dan lain sebagainya yang dikonsumsi oleh para remaja tanpa tahu tujuannya.

Ketiga, “populer” sebagai karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang. Hal-hal yang bersifat kesenangan, tak dapat dipungkiri menjadi semacam kebutuhan pokok pada tiap manusia. Kenyataan ini yang kemudian menjadi pangsa pasar paling potensial oleh para industriawan terutama media yang selalu menyuguhkan acara-acara ‘asal orang senang’. Bagi industri media televisi, tentunya tidak sulit menciptakan perangkap acara yang dikemas secara hiburan lewat beragam program acara dengan konstruksi yang bersifat kesenangan serta dilancarkan secara terus-menerus dalam setiap serial komoditas, sehingga pemirsa begitu tergila-gilanya mengikuti apa yang disuguhkan oleh industri media televisi yang pengaksesannya bisa dilakukan kapan saja dengan secara gratis itu. Tayangan panggung hiburan musik dengan penyanyi-penyanyi cantik dan glamour ditayangkan mulai orang bangun tidur sampai beranjak mau tidur. Pengemasan acara yang menggiring masyarakat untuk berlomba-lomba menjadi aktris gencar dilaksanakan lengkap dengan iming-iming yang dianggap menyenangkan. Sebut saja, Audisi – audisian atau Idol-idolan. Dan anehnya (disebut aneh karena pemirsa tanpa sadar tergiring) adalah keputusan pemenang ditentukan oleh SMS yang dikirim pemirsa.

Keempat, pengertian budaya populer sebagai budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Pada tataran ini, dalam sejarah munculnya budaya populer di berbagai negara, dibuat oleh dan untuk rakyatnya sendiri sebagai bentuk perlawanan dan upaya eksistensi menghadapi problem sosial setempat. Pada tahap perkembangannya, budaya populer ini dibuat oleh orang-orang tertentu dalam hal ini pelaku komersial untuk kepentingan dirinya sendiri yakni, keuntungan finansial. Pergeseran makna dan nilai menjadi kian jelas tatkala dikonsumsi dan diaktualisasikan oleh kita yang hanya mengadopsi mentah dan menjadi epigon. Hal pertama yaitu kebudayaan populer yang berkembang di negara tertentu (asing), berlatar belakang persoalan sosial yang belum tentu  sama dengan persoalan lingkungan dimana para pengadopsi tinggal. Selain itu bentuk penyaluran ekspresi sebagai sarana perjuangannya belum tentu sesuai dengan kultur lingkungan kebudayaan disini.  Persoalan kedua, adalah budaya populer yang berkembang sengaja diciptakan oleh kaum kapital untuk kepentingannya sendiri yakni produk komoditi dan kita para pengadopsi tidak sadar kalau telah menjadi konsumen. Atas nama tidak ketinggalan gaya hidup modernitas, yang memang sengaja diciptakan para produsen tersebut, kita telah menjadi  pengikut setia dan bahkan siap membela memperjuangkannya agar dapat diterima khalayak secara meluas.


Karakteristik Budaya Populer

Beberapa analisa mengenai pola atau karakteristik budaya populer sebagai bahan kajian dalam menyikapi terhadap perkembanagan kebudayaan di sekitar kita, antara lain :

-    Relativisme, yaitu hilangnya batasan – batasan. Budaya populer menolak segala perbedaan dan batasan yang mutlak. Misalnya antara budaya klasik dan budaya salon, antara seni dan hiburan, antara budaya tinggi dan budaya rendah, iklan dan hiburan, hal yang bermoral dan yang tidak bermoral, yang bermutu dan tidak bermutu, yang baik dan jahat, batasan antara yang nyata dan semu, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak lagi memiliki arti yang nyata.

-    Pragmatisme, menerima apa saja yang bermanfaat tanpa memperdulikan sesuai atau tidak hal tersebut dapat diterima dan diimplementasikan. Semua hal diukur dari hasilnya atau manfaatnya, bukan dari sesuai  atau tidaknya. Hal yang terutama adalah hidup hanya untuk saat ini (here and now), tanpa harus memikirkan masa lalu dan masa depan.

-    Hedonisme, lebih banyak berfokus kepada kesenangan dan pemuasannya daripada intelektualitas. Yang harus menjadi tujuan hidup adalah bersenang-senang dan menikmati hidup, sehingga memuaskan segala keinginan. Hal seperti ini menyebabkan munculnya budaya hasrat yang mengikis budaya malu. Untuk mencapai ke tahap kesenangan semuanya harus dikemas dengan konsep hiburan. Informasi dan berita juga harus menghibur, maka muncullah infotainment. Bahkan pengajaran agama pun harus hiburan.

-    Konsumerisme,  yaitu sebuah masyarakat yang senantiasa merasa kurang dan tidak puas secara terus menerus. Masyarakat yang membeli bukan berdasarkan kebutuhan, namun keinginan, bahkan gengsi.  “Aku bergaya maka aku ada.” Maka pada budaya ini, penampilan (packaging) seseorang atau sebuah barang (branding) sangat dipentingkan.

-    Instan, keinginan untuk cepat terlaksana tanpa mempertimbangkan proses-proses ideal yang menyertai. Budaya ini juga dapat dilihat dari semakin banyak orang ingin menjadi kaya dan terkenal secara instan. Buku-buku yang banyak beredar dan diminati adalah yang menawarkan hal-hal serba cepat.

-     Kontemporer, menawarkan nilai-nilai yang bersifat sementara, tidak stabil, yang terus berubah dan berganti (sesuai tuntutan pasar dan arus zaman).

Pudarnya Jati Diri Bangsa

Hegemoni “budaya asing” yang memberikan iming-iming berupa kenikmatan, glamouritas dan bertendensi pada propaganda modernitas sangat kuat mencengkeram masyarakat untuk merelakan dirinya terseret arus. Tak berlebihan kiranya budaya asing yang mendominasi gaya hidup masyarakat kita adalah budaya Amerika. Sebagai negeri yang terkenal dengan kekuatan kapitalismenya, Amerika dapat dikatakan sebagai “penguasa” kebudayaan baru dan digandrungi dengan kemasan budaya populer. “American Style” memang sangat nampak pada  pola hidup masyarakat kita terutama pada anak muda, walaupun sebagian dari masyarakat kita juga terbawa arus dan membanggakan kebudayaan bangsa lain, seperti Cina, Arab atau India. Kebudayaan negara-negara Barat yang menganut paham kapitalisme itu tidak saja mengubah tatanan sosial yang ada, namun mempengaruhi perilaku, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat kita. Kebudayaan ini menumbuhkembangkan konsumerisme dan hedonisme di segala lapisan masyarakat, laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, kebudayaan lokal yang merupakan identitas yang kita miliki dan warisan para leluhur makin memudar, bahkan menghilang. Akibatnya generasi yang terlahir adalah generasi rapuh moralitas, minim nalar dan selalu tergiur dengan keglamouran hidup serta sikap instan.

Sebuah krisis jatidiri bangsa ini akan selalu tumbuh dan berkembang seiring dengan pesatnya arus modernisasi dan globalisasi yang menerjang negeri ini, sehingga faham-faham konsumerisme, pragmatisisme, liberalisme, materialisme, kapitalisme dan hedonisme yang berasal dari dunia barat akan selalu meracuni masyarakat negeri ini. “Keadaan ini disebabkan oleh kenyataan tidak dimaknainya secara benar tentang sistem nilai, wawasan hidup dan sikap yang berlaku di masyarakat selama ini dan tidak dibatinkannya pilar-pilar kebudayaan itu dalam diri setiap anggota masyarakat negeri ini” (Kunjana Rahardi, 2000). ”Ketika terjadi krisis tentang jati diri bangsa, maka masyarakat tidak peduli lagi tentang ideologi bangsanya, karena dianggap tidak berpihak kepadanya dan mencoba mencari-cari ideologi lain termasuk memuja-muja bangsa lain dari berbagai aspek yang mereka pahami dan dengan serta merta lewat caranya sendiri, mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari” (Naya Sujana, 2008).

Memahami budaya populer sebagai hasil konstruksi pemilik modal berarti juga menerima kenyataan diri bahwa sebagai pelaku budaya populer adalah identik dengan sikap pasif yang tak lebih dari sekadar pion-pion yang digerakkan. Proses sosial dimana tingkat kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh unsur eksternal akan disertai dengan meninggalkan pola kehidupan yang lama kemudian menyesuaikan diri atau menggunakan pola yang baru.  Realitas kehidupan di masyarakat telah dipenuhi perilaku norak dengan mengusung faham kebebasan, hasil dari hegemoni Amerikanisasi dalam membentuk jati diri budaya populer yang siap meracuni generasi muda negeri ini menjadi generasi yang senang dengan keglamouran hidup semata, tetapi miskin dengan pembelajaran teknologi.

Simpulan dan Penutup

-    Budaya populer merupakan sebuah konsep yang menghasilkan suatu produk yang disebut yang banyak disukai orang. Keberadaan budaya populer sendiri awalnya merupakan wujud perlawanan terhadap kemapanan nilai-nilai budaya tinggi yakni budaya yang dihasilkan oleh kaum-kaum elite. Namun kini budaya populer sudah tidak lagi dianggap sebagai budaya rendahan karena segala lapisan kaum pun telah terpapar oleh produk budaya poluler.

-    Media massa berperan kuat dalam membentuk keragaman budaya baru yang dihasilkan,  yang sangat berpengaruh terhadap sistem nilai, pikir dan tindakan manusia. Berbagai macam gaya hidup telah direkonstruksi sedemikian rupa melalui beragam program acara yang mencerminkan kebohongan publik itu, hingga pada akhirnya dapat menimbulkan suatu kebohongan tersembunyi dan tanpa sadar telah menjadi bagian dari realitas kehidupan yang sebenarnya.

-    Kehidupan materialistik, hedonis, dan konsumtif, berdampak pada konsep martabat manusia telah mengalami pergeseran dari sesuatu yang bersifat inner menjadi sesuatu yang artifisial. Kebudayaan juga mengalami pergeseran sehingga yang menonjol dalam budaya populer adalah karakter instan, dangkal, egosentris, dan market oriented.

-    Budaya populer adalah budaya komersial dampak dari produksi massal (produk industrialisasi) yang dikonstruksikan dengan bantuan media massa, sehingga menciptakan trend dan popularitas.

-    Derasnya arus globalisasi telah mengubah cara masyarakat kita dalam berbudaya. Perlahan tetapi pasti, kebudayaan lokal mulai tergerus oleh kebudayaan luar yang menguasai.
Sebagai penutup, budaya populer yang berkembang di masyarakat kita ada yang memiliki sisi positif atau kebaikan namun tidak sedikit yang menyesatkan atau menjerumuskan. Hal ini dibutuhkan fungsi kontrol dengan pengetahuan tentangnya. Terpaan budaya populer serndiri juga tidak bisa lepas dari pengaruh media massa, maka dari itu kita harus terus melakukan filterisasi terhadap tayangan-tayangan media massa, dengan tujuan produk budaya populer tersebut tidak mengganti atau mengubah kepribadian kita. Suatu penanaman konsep ideologi ke dalam format acara melalui teks-teks media dan makna-makna yang ada di dalamnya serta praktik-praktik budaya telah melahirkan “kesadaran palsu” di dalam persepsi pemirsa. Mengutip pernyataan seorang ahli, bahwa “... sebagai bentuk keberhasilan konspirasi antara kapitalisme dengan budaya populer dalam memanipulasi kesadaran masyarakat dengan kesadaran semu,  kebudayaan industri merupakan satu bentuk dehumansasi lewat kebudayaan” (Graeme Burton, 2008).

Mari bertanya pada diri masing-masing, : masih ingin jadi agen budaya industri yang mengatasnamakan budaya populer? Selamat, anda jadi korban proses pembodohan.

Disusun oleh :  Lek MIKO
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar