Pendakian Gunung Semeru via Ranu Pani

Matahari Pagi di Mahameru

Setelah gagal merencanakan pendakian ke Gunung Rinjani, akhirnya kesanalah kami berlima (Saya, Bayu, Robie, Janu, Didi) pergi, merangkai langkah di jalan panjang tak berujung untuk sampai di Tanah Tertinggi Pulau Jawa, Mahameru 3676 mdpl.

Selasa, 19 Juni 2012

KA Matarmaja, kendaraan tua yang berjalan perlahan sejauh 905 KM untuk sampai di Stasiun Malang menjadi satu pembelajaran penting dalam perjalanan ini. Kereta ini seperti jendela kita untuk melihat Indonesia yang sebenarnya, ada persinggungan sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik didalamnya, meretas batas, benar-benar sama rata sama rasa, panas.

Rabu, 20 Juni 2012

30 menit menjelang pukul 10.00 WIB kami tiba di Stasiun Malang, belum genap 20 menit tiba disana kami dipertemukan dengan seorang bocah solo yang akhirnya menjadi bagian dari tim kami menikmati keindahan alam Gunung Semeru. Sa’ad datang sendirian tanpa teman, tanpa tenda, dengan logistik seadanya, kemudian menjadi ‘mainan’ seru selama pendakian.

Perjalanan ini dilanjutkan dengan angkutan kota menuju Tumpang, untuk sampai disana kita membutuhkan waktu sekitar 120 menit, setelah itu kami semua diantarkan untuk mengurus surat kesehatan disalah satu klinik, dan berangkat menuju Ranu Pani dengan menggunakan Truk. Kebetulan keberangkatan ini bersamaan dengan akan dikirimnya logistik kegiatan film yang sedang berlangsung di Semeru, 5 cm.

Setelah dimanjakan dengan panorama alam sepanjang perjalanan, tibalah kami di Ranu Pani. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mendaftarkan diri ke Pos Informasi, menyerahkan sejumlah persyaratan administratif, dan akhirnya surat izin pendakian Gunung Semeru sudah ditangan.

Disana kami memilih untuk beristirahat dan bermalam di salah satu pondokan yang disediakan gratis untuk pendaki. Sore harinya setelah menikmati 2 mangkuk bakso malang, kami memutuskan untuk berkunjung ke danau terdekat Ranu Pane (4 Ha) dan Ranu Regulo (0,75 Ha).

Pondokan Gratis di Ranu Pani

Ranu Regulo

Setelah makan malam kami menyetujui untuk memulai pendakian keesokan harinya, dengan catatan bahwa kami sudah harus bangun dari pukul 03.00 WIB, mempersiapkan perlengkapan, sarapan dini hari dan packing. Awalnya sulit bagi saya beradaptasi dengan dinginnya Desa ini, lengkap dengan dengkuran teman-teman yang volumenya semakin malam semakin bertambah, namun tidur malam itu terasa berkualitas setelah memanjatkan doa kepada yang Maha Kuasa.

Kamis, 21 Juni 2012

Malam berganti pagi, matahari akhirnya menyinari, hangatnya membakar semangat untuk cepat melangkah. Dari Ranu Pani kita melewati jalanan aspal menurun hingga harus berbelok ke kiri. Sebuah papan bertuliskan Selamat Mendaki, menjadi batas aspal dengan jalan tanah merah berdebu.

Jangan kaget 15 menit pertama kita disambut dengan tanjakan yang cukup menguras tenaga. Saya bahkan sempat berfikir ulang untuk melanjutkan pendakian, seperti biasa logika kalah dari dorongan kemauan yang kuat, fisik boleh lelah, mental tidak boleh kalah.

Jalan setapak ini berhenti di Pos I yang berada di 2300 mdpl, Pos II 2335 mdpl, Pos III 2423 mdpl, Pos IV yang kini sudah rubuh karena longsor, serta Pos V 2443 mdpl, yang merupakan pos terakhir sebelum Ranu Kumbolo.

Selama perjalanan kita disapa dengan vertikalnya Watu Rejeng, medan yang dilalui cukup landai, sebelum akhirnya disapa dengan tanjakan berdebu setelah Pondokan Pos yang rubuh. Perjalanan ini begitu panjang, yang membuatnya tidak membosankan adalah pemandangan Gunung Argopuro dan Lautan Awan yang seketika membungkam suara dan membuka mata kita, Indonesia itu KAYA.

Argopuro dan ‘Tsunami’ Awan

Setibanya di Ranu Kumbolo 2386 mdpl keadaan begitu ramai, daerah terlihat seperti desa, karena penuh dengan tenda-tenda besar, bahkan ada bangunan baru dan ruangan MCK yang sengaja dibangun untuk memudahkan kegiatan pengambilan gambar untuk film 5 cm.

Ranu Kumbolo (Bayu, Sa’ad, Janu, Didi, Robie, Wenty)

Kami tidak menghabiskan waktu lama disana, karena memang sejak awal berencana untuk membangun tenda di Kalimati. Makan siang seadanya kami habiskan tidak lebih dari 2 menit, mengisi air minum, dan siap melanjutkan ke Jalur Tanjakan yang sudah terkenal cerita dibalik pesonanya, Tanjakan Cinta.

“Mitosnya kalau berhasil dengan lancar melewati tanjakan ini, tanpa berhenti maka perjalanan cintanya akan lancar”.

Logika yang berkembang dalam pikiran saya, mitos itu diciptakan untuk sekedar memberikan semangat bagi para pendaki melewati tanjakan ini. Seperti biasa hal-hal menyenangkan bersifat univesal dituangkan menjadi mitos, yang akhirnya percaya tidak percaya banyak saja yang menjalankannya.

Tanjakan Hati eh Cinta (hehe)

Setelah sampai di Bukit Tanjakan Cinta, kita akan melihat Oro-oro Ombo hamparan luas rerumputan, padang rumput seluas 100 Ha ini seperti taman teletubbies dikelilingi bukit-bukit berumput, dan beruntungnya ketika kami tiba, padang rumput yang biasanya hijau ini, bertaburan dengan Bunga Lavender, ungu – hijau dimana-mana.

Lavender dan Oro-Oro Ombo

Ada 2 jalur untuk melewati Oro-oro ombo, yaitu berbelok ke arah kiri melewati punggungan bukit, atau berjalan lurus vertikal kebawah, memotong sabana. Karena kami sepakat untuk melewati Hamparan Lavender, maka jalur memotong hamparan sabanalah yang kami pilih. Kombinasi warna yang disajikan benar-benar diluar dugaan, lebih indah dari yang pernah saya bayangkan, lebih mengagumkan dari yang biasa saya lihat dalam rekam jejak pendakian orang-orang.

Batas vegetasi Sabana menuju Kawasan Hutan Cemara, kami berhenti, inilah yang dikenal dengan Cemoro Kandang merupakan bagian dari Gugusan Gunung Kelopo (3095 mdpl). Selama berhenti tidak lupa kami meneguk air dari Ranu Kumbolo, menikmati pemandangan oro-oro ombo, berfoto, dan bermain-main kata dengan bocah solo yang baru beberapa hari kami temukan, sungguh temuan yang menghibur (hehe).

Cemoro Kandang

Perjalanan ini mulai terasa berbeda dengan sebelumnya, pohon-pohon cemara yang tersambar petir, jalanan menanjak sederhana tidak vertikal namun juga tidak bisa dikatakan landai ini terasa begitu panjang. Vegetasi mulai berganti dengan Bunga Abadi, hal ini menandakan bahwa kami sudah tiba di Sabana Jambangan (3200 mdpl). Hujan menemani perjalanan kami menuju Kalimati, keadaan menjadi sunyi, semakin dingin, pemandangan Puncak Mahameru yang dijanjikan tidak terlihat, tertutup oleh kabut tebal.

Kemudian, secara bertahap kabut terbuka. Kalimati, mata saya tidak lepas dari membandingkan apa yang ada di kanan dan kiri saya. Berdiri tegak menghadap ke arah Kalimati, Gunung Kelopo yang hijau terlihat indah dan ‘rendah’ di kiri, dan Gunung Semeru yang abu-abu, ‘tinggi’ , angkuh, berdebu, dan berpasir, Saya mulai merinding, dan mengecek ulang niat saya untuk Summit Attack esok hari.

Sekali lagi mental saya dibanting jatuh rendah mengalahkan ego saya untuk sampai ke Puncak, ketika tidak lama Semeru terbatuk mengeluarkan asap tebal, terlihat jauh namun menakutkan, ini yang saya kenal dengan Indah di Cerita, Menakutkan di depan Mata.

Kalimati dan ‘Penampakan’ Semeru

Semeru ‘Batuk’

Di Kalimati kami menikmati ‘kamar’ didalam pondok pendaki, terasa lebih hangat dibandingkan harus membangun tenda merasakan terpaan angin malam. Setelah makan malam, kami berenam sepakat akan memulai pendakian pukul 01.00 WIB, kami sepakat tidak mengejar puncak, tidak mengejar terbitnya matahari, yang kami utamakan adalah keselamatan tim.

Ini yang saya sukai dalam setiap pendakian, teman-teman yang sangat bersemangat mencapai puncak namun tetap logis dan realistis melihat sejumlah kemungkinan, berfikir positif dan selalu optimis, naik bersama, muncak bersama, turun juga harus bersama.

Malam itu sebenarnya saya mulai ragu untuk melanjutkan pendakian, kaki mulai terasa berat, sakit perut, sakit kepala sebelah, dan perasaan aneh lainya, terutama setelah diskusi malam, yang mulai membicarakan bahaya dan ancaman yang mungkin dihadapi selama mencapai puncak. Kalau bukan karena teman-teman yang berani dan saya percaya, mungkin saya akan lebih memilih menunggu di Kalimati, menanti cerita dan mebayangkan Mahameru dari foto saja, saya benar-benar hampir memilih jalan tersebut, sampai akhirnya tepat pukul 01.00 WIB kami melangkah menuju Arcopodo (2900 mdpl).

Jum’at, 22 Juni 2012

Jalan setapak menuju Arcopodo begitu mengerikan, suara angin, batu nisan yang bertebaran, dan dinginnya malam membuat jantung berlompatan, hati mulai tidak tenang, pikiran mulai tidak logis, dsb. Yang mengisi kekosongan hanya pemandangan Kota Malang dan Surabaya dari ketinggian, butiran bintang-bintang, serta cahaya kecil dari lampu-lampu pendaki yang sedang menuju puncak.

Dari sini kita akan tiba di batas vegetasi cemara dengan pasir menuju puncak, tempat ini dikenal dengan Kelik. Perjalanan ini dilanjutkan menuju Cemoro Tunggal, yang kini sudah tidak berdiri tegak lagi, yang tunggal kini tumbang.

Tunggal kini Tumbang

Cemoro tunggal ini dulunya sebagai petunjuk jalan pulang dari puncak, karena setiap tiba di Puncak pendaki terbiasa lupa jalur pulang, sehingga kita harus sangat berhati-hati. Bahkan untuk turun kita dihadapkan pada 2 jalur, yang kini saya berani saya kategorikan menjadi Jalur Kematian (Blank 75) dan Jalur Kehidupan (Jalur Pendakian). Perhatikan jalan yang dipilih, benar-benar perhatikan, jangan ambil terlalu kanan, atau siap-siap untuk ‘jurang tak berdasar’. Kami hampir saja salah jalan, ketika turun, untung hanya berlangsung tidak lebih dari 20 detik saja, kami tersadar dan kembali ke jalan yang benar, Alhamdulillah.

Selama perjalanan menuju Puncak, langkah banyak yang sia-sia, maju 1 langkah turun 2 langkah, pasir itu lama-kelamaan benar-benar membuat saya kesal, saya bahkan sempat berhalusinasi langit runtuh, dan hujan bintang (haha). Saya sempat puas dan ingin menyerah, saya bahkan sempat berkicau dalam hati “ngapain sih Wen? jauh-jauh cuma nikmatin debu!”.

Titik terlemah saya adalah 30 menit menuju puncak, ketika asap belerang hasil batuk Jonggring Saloko seperti bergerak menghampiri. Bayu, yang sudah berpengalaman hanya memperingatkan kami untuk tenang, dan duduk, saya sempat kesal sebenarnya, namun prinsip dalam setiap pendakian, jangan semua mengeluarkan suara, jangan cepat mengeluarkan respon, pikirkan sejenak, responsif dalam perkataan dapat membahayakan kekompakkan tim (Pengalaman di Gunung Lawu).

Alhamdulillah, Tuhan memberikan kesempatan untuk saya dan teman-teman menikmati tanah tertinggi Pulau Jawa, meresapi makna puisi yang tercantum dalam plat besi Soe Hok Gie dan Idhan Lubis, merekam dalam ingatan keindahan panorama alam Atap Jawa, melihat dengan  jelas kepulan asap belerang, berfoto, dan yang tidak boleh dilupakan adalah bersujud Mencumbui pasir Mahameru, Allahu Akbar.

Mencumbu Mahameru

Indonesia – Bangsa dan Negara

Speechless ….

1800 detik kami habiskan untuk menikmati Mahameru, Maha yang berarti besar atau tinggi dan Meru yang berarti Gunung, kini memberi saya makna, pengalaman, pembelajaran, dan cerita baru dalam kehidupan.

Jalur Turun, Terjal dan Berbahaya

Perjalanan belum berakhir, turun dari Puncak bukan hal yang mudah, badan lelah, perut lapar, wajah mulai terasa terbakar. Yang membuat saya tetap bersemangat tentunya adalah teman-teman yang ada disekitar, dan tidak kalah pentinya adalah fantasi di ingatan saya untuk menikmati kehangatan matahari pagi di Ranu Kumbolo, kami berjalan cepat, bergegas membereskan barang untuk menuju Ranu Kumbolo. Maka danau itulah yang menjadi perhentian kedua kami, untuk sekali lagi merekam keindahan ciptaan Tuhan, dengan mata dan kamera, meyimpannya dalam ingatan dan memory 8GB. (hehe).

Sabtu, 24 Juni 2012

Bangun … bangun … sunrise!!! — deretan kata yang terdengar ketika matahari mulai terbangun dari Timur, saya tentu tidak akan melewatkan pagi, menikmati api unggun yang dibuat teman-teman dari Universitas Hasanuddin, ditemani kopi jahe dan teman-teman yang hebat, melengkapi pagi di Bulan Juni, liburan ini tentu tidak mudah dan tidak mungkin untuk dilupakan.

Setelah puas dengan pemandangan Ranu Kumbolo, kami beres-beres, masak-masakan digunung harus segera berakhir. Sejumlah agenda siap untuk dikerjakan. Namun perjalanan harus ditunda sampai tanggal 25 Juni 2012, akhirnya kami bermalam di Tumpang. Meskipun kendaraan pulang tidak memuaskan, itu saya jadikan pelengkap kegembiraan saja, semua toh pasti ada hikmahnya, Juni tahun ini, memorable!!

Catatan:

  1. Persiapkan tiket kereta PP dari jauh hari, menghindari harga mahal dari calo’.
  2. Dari Stasiun Malang ke Tumpang dapat menghubungi Pak Imam untuk mendapatkan angkutan kota: Imam – 087859271166.
  3. Dari Tumpang menuju Ranu Pani sangat dianjurkan menghubungi Pak Laman – 0341786209 / 081334950454.
  4. Persiapkan surat kesehatan, tanpa surat ini surat izin pendakian tidak akan didapatkan.
  5. Sumber air: Ranu Pane, Ranu Kumbolo, Sumber Mani.
  6. Jalur antara Kalimati-Mahameru merupakan medan dengan dukungan survival paling minim.
  7. Usahakan untuk mengambil air di Sumber Mani sebelum sore hari atau senja, karena dikhawatirkan ber’rebut’an air dengan Macan Tutul dan Macan Kumbang.
  8. Jalur Ranu Pane paling jauh dan panjang adalah dari Pos II ke Pos III dan mengandung banyak ‘sesuatu’.
  9. Mulailah pendakian puncak dari Kalimati atau Arcopodo pada dini hari, sehingga dapat puas menikmati pemandangan Mahameru.
  10. Turunlah dari puncak sebelum pukul 08.30 WIB untuk menghindari bahaya gas beracun, karena angin akan bertiup ke arah jalur pendakian.
  11. Saat turun perhatikan jalur yang dipilih, awas hindari BLANK 75 atau bersiap pindah dunia… Semeru’s Death Zone yang merupakan kombinasi jalan berpasir yang berakhir pada jurang dalam berbatu, paket sempurna yang menghalangi pendaki untuk kembali ke rumah dengan selamat.
  12. Bulan baik untuk pendakian adalah Juni – September, cuaca terburuk adalah pada bulan Desember, dan biasanya hingga Maret bahkan bisa saja sampai Mei pendakian ditutup.

 Gambaran Waktu Perjalanan (via Ranu pane):

  • Malang – Tumpang: 30 Menit
  • Tumpang – Ranu Pani: 120 Menit
  • Ranu Pane – Ranu Kumbolo: 4 Jam 15 Menit
  • Ranu Kumbolo – Puncak Tanjakan Cinta: 10 Menit
  • Puncak Tanjakan Cinta – Oro-oro ombo: 5 Menit
  • Oro-oro ombo – Cemoro kandang: 30 Menit
  • Cemoro Kandang – Jambangan: 60 Menit
  • Jambangan – Kalimati: 60 Menit
  • Kalimati – Arcopodo: 1 Jam 45 Menit
  • Arcopodo – Khelik: 10 Menit
  • Khelik – Mahameru: 4 Jam

Sumber Foto: Kamera (Wenty, Bayu, Janu)

About arsiyawenty

Traveler and Dream Catcher
This entry was posted in Gunung Hutan and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

47 Responses to Pendakian Gunung Semeru via Ranu Pani

  1. Sa'ad Fajrul says:

    wah gue mainan yang seru ternyata

  2. pararang says:

    wow…. 5 cm on progress… film yg paling gw tunggu… hahahaa… semoga gw bisa berkunjung juga kesana segera…

    • arsiyawenty says:

      hayuk caang kesana, ga akan nyesel.
      ia pertama kali baca buku itu SMA, dan gue ngebayangin kalau di filmkan ehh tinggal nunggu 12 Desember 2012 aja (121212) film keluar.

  3. dayno says:

    really amazing, wen!
    gileeee ah keren bangeeeet, penasaran liat Ranu Kumbolo

    • arsiyawenty says:

      makasi daaay
      hayuk lah, dari penasaran muncul kemauan, dari kemauan bergerak ke niat pendakian, Ranu Kumbolo salah satu ciptaan yang sayang untuk dilewatkan 😀

  4. haaleewang says:

    wahhhh keren gan
    makasih tips nya gan saya juga pengen ke mahameru cuma belum ada pengalaman
    XD

  5. akuntomo says:

    sekarang ada petunjung ke arcopodo nda dari kalimati? tahun lalu ndaki ampir nyasar, salah jalan. BTW, salam kenal 🙂

    • arsiyawenty says:

      hallo salam kenal, dari kalimati tidak ada petunjuk menuju arcopodo, kalau jalan malam lumayan tidak jelas jalurnya, baiknya sebelum gelap orientasi medan aja sampai terbayang jelas jalur menuju arcopodo, setelah itu menuju khelik (batas vegetasi cemara-pasir) jelas kok hehe…

  6. rivai says:

    wekekekekekek.
    ternyata.

    sory ge bisa koment2.
    :p

    rivai aka kempor

    kangen merapi dimpa unsa 😀

  7. nofi says:

    pengen bgt kesini..:( sayank tiada teman….pasti asik bgt bisa kesini. klo kesana ajak aq donk..hehehhe

    • arsiyawenty says:

      hallo salam kenal, hehe
      ia tempat yang pas untuk menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan 🙂

      • Gustya Indra Cahyadi says:

        Maaf sebelumnya, saudari wenty waktu ke mahameru sebelumnya udah punya pengalaman sama gunung gak?

      • arsiyawenty says:

        hallo salam kenal 🙂
        ada beberapa, saya mah amatir hanya bisa sedikit, belum berpengalaman hehe 😀

      • Gustya Indra Cahyadi says:

        Tapi hebat bisa sampe puncak. Temen saya cewe bisa gak yaa? Fisiknya rada keok soalnya haha. Bismillah 14 juni..

      • arsiyawenty says:

        alhamdulillah.
        saya sebelumnya udah pernah ke Gunung Ciremei via Linggar Jati, jadi ga kaget banget lewat jalur pendakian ke Mahameru. Soalnya jalur pasir Khelik – Mahameru mainnya lebih ke kesabaran dan kekuatan mental disamping fisik hehe.
        Bisa kok, yang penting sebelumnya udah latihan fisik, mungkin jogging dan swimming bisa melatih endurance dan pernapasan.
        Asal temen pendakiannya pada sabar dan ga mudah menyerah, cewek itu pasti bisa sampe puncak juga
        Selamat mendaki 🙂

      • Gustya Indra Cahyadi says:

        Sip, makasih motivasinya mbak 🙂 mao share semangatnya embak ke temen saya itu haha.

      • arsiyawenty says:

        sama-sama, good luck ya 🙂

      • nofirungkab says:

        akhirnya aq bisa kesini meski gak sampek puncak….krana cuaca tidak mendukung..

  8. Pingback: Gunung Semeru via Ayek-Ayek | Penghuni Malam ….

  9. ary says:

    Puncak Abadi Para Dewa.. tulisan nya banyak membantu gan…
    setidak nya buat yang belum pernah kesana..

    sungguh ikut merasakan yang kalian semua rasakan lewar tulisan ini..
    do’akan segera bisa mencumbu pasir mahameru guys..

  10. aya says:

    terima kasih atas cerita perjalanan ini kak, doakan saya juga diberi kesempatan untuk menapak puncak Mahameru, dan menuliskan pengalaman sepulang dari pendakian 🙂

  11. ALWAN says:

    assalamualaikum kak, 🙂 eh mau tanya kak,kalau langsung daftar pendakian di tempat pendaftaran bisa nggak?jadi nggakusah online,dan bisa langsung mendaki kan?eh 1 lagi, kalau bulan yg dianjurkan pendakian bulan apa aja kak?sekian terimakasih , wassalamualaikum

    (Alwan) Yogyakarta

    • arsiyawenty says:

      Waalaikumsalam, salam kenal 🙂
      online registration itu belum jalan sampai saat ini, jadi masih bisa langsung. kalau yg saya anjurkan dari periode Juni – September 🙂

  12. salam kenal mbak keren abis mbaknya apan ya aq bisa maen kesana..

    Salam Keong 🙂
    http://chk2489.blogspot.com/

  13. Agus Riyadi says:

    numpang tanya, untuk no pak laman apakah masih aktif? InsyaAlloh kami berencana ke semeru sekitr bulan januari to februari

    Terimakasih

  14. metha says:

    Aduuh… baca postingan mbak bikin saya lebih termotivasi buat mencium tanah mahameru,
    pengen banget kesana, tapi untuk newbie seperti saya apa bisa ya…

  15. masih impian bisa ke puncak tertinggi jawa, kesibukan jam kerja dan biaya yang cukup lumayan masih jadi masalah, heheh semoga bisa kaya abang abang ini deh amin…

  16. Mukhyidin says:

    mimpi q untk pendakian ke gunung semeru,, sudah tak letakkan di dpn mata dengan jarak 5 cm… 🙂 semoga bisa terwujud kayak mba arsiyawenty .. [amin ya rabb]

  17. ucup says:

    Keren abiss…. hehe..

  18. halo salam kenal..
    mau tanya, untuk surat keterangan kesehatan itu apa disediakan pos kesehatannya sebelum pendakian? atau kita udah harus bawa sendiri sebelum dateng ke pos pendaftaran?
    thanks

    • arsiyawenty says:

      Hallo salam kenal 🙂
      Untuk kesehatan bisa disiapkan di klinik kesehatan sebelum menuju Ranu Pane di Tumpang, namun ada baiknya disiapkan sebelum pendakian saja, karena sering ramai dan bisa menghemat waktu, semua surat diserahkan di pos pendaftaran sebelum pendakian. (keseluruhannya disipakna sendiri karena TNBTS tidak menyediakan) 🙂

  19. choi says:

    Kalo MCK nya ada dan jumlahnya cukup gak , karena saya gak bisa kalo buang hajat gak ada air .

  20. ptr gion says:

    salam kenal ,thenk infonya

Leave a comment