TOKOH SUFI (30) | HARIS AL-MUHASIBI | KISAH TELADAN

Haris al-Muhasibi

1. Biografi Singkat Tokoh Haris al-Muhasibi.

Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi. Dia dilahirkan di Basrah pada tahun 165 H/781 M kemudian pindah ke Baghdad ibu kota bani Abbasiyah. Al Muhasibi dibesarkan dari kalangan terkemuka, keluarga yang terpandang dari segi ilmu dan kekayaan. Ketika masih kecil dia pindah ke Baghdad, di sana dia belajar hadist dan teologi (Ilmu Kalam), bergaul akrab dengan para tokoh terkemuka dan menyaksikan peristiwa-peristiwa penting pada masa itu.

Haris al-Muhasibi adalah ulama’ yang namanya sangat menonjol dalam bidang tasawuf di zamannya. Pada awal kehidupan intelektual Al-Muhasibi berkecimpung dan menggeluti ilmu hadist dan tasawuf sehingga sangat matang dalam kedua ilmu tersebut.

Al-Muhasibi menimba ilmu hadis dan fiqih dari para ulama’ yangterkenal di zamannya. Diantaranya guru-gurunya dalam ilmu fiqih ia belajar dengan imam Syafi’I, Abu Ubaid Al-Qasami bin salam, dan kadi Abu Yusuf. Dan dalam bidang ilmu hadis ia belajar dengan Hasyim, Syuraih bin Yunus, Yazid bin Haran, Abu an Nadar, dan Suwaid bin Daud. Beliau juga memberikan perhatian besar terhadap perkembangan politik dan kehidupan sosial.

Perkembangan pemikiran teologi islam (ilmu kalam) di masanya, didikutinya dengan seksama, ia mempelajari dan memahami dengan baik pemikiran Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Jabariyah dan Qodariyah. Sekalipun al-Muhasibi tidak sependapat dengan aliran Mu’tazilah namun aliran ini sangat mempengaruhi cara berpikirnya diantaranya menghargai akal dalam memahami agama untuk mencapai kebenaran.

Dalam dua ilmu yang ia tekuni , ia juga menelaah perilaku dan ucapan-ucapan para zahid (ahli ibadah) yang hidup sebelumnya seperti Hasan Basri, Ibrahim bin Adham, Daud al-Thai dan Fudhail bin Iyad dan juga pemikiran-pemikiran para zahid di zamannya seperti Syaqiq al-Balkhi, Ma’ruf al-Karkhi, Bisyar Khafi, Dzun Nun al-Misri dan Sirri al-Saqati.

Telaahnya yang begitu luas yang menjadikan dirinya menjadi ulama yang sangat terkemuka di zamanya. Persaksian dari tiga orang penulis sejarah menjadi di belakangnya mengakui keluasan wawasan ilmu al-Muhasibi seperti al-Qusyairi yang menulis dalam bukunya “al-Rislah al-Qusyairiyah” menyatakan al-Muhasibi adalah seorang ulam yang tidak ada tolok bandingannya di zamannya, baik dalam bidang iqih maupun dalam bidang tasawuf.

Al-Tamimi menggambarkan bahwa al-Muhasibi merupakan imam kaum muslimin dalam bidang hadist, fikih,ilmu kalam, dan tasawuf. Dan Ibnu Khaldun menulis bukunya “Al-Muqaddimah” mengakui al-Muhasibi menghimpun ilmu fikih batin, ilmu fikih lahir, ilmu fikih wara’, dan ilmu akhirat. Disamping ilmu-ilmu yang dimiliki al-Muhaisbi dalam bidang hadist dan fikih , ia juga menggeluti ilmu dalam bidang tasawuf bahkan namanya sangat popular di kalangan para sufi.

1. Pemikiran Tasawuf Haris al-Muhasibi.

Haris al-Muhasibi adalah seorang ulama yang masyhur dalam ilmu ushul dan ilmu akhlak, di samping itu beliau juga terkenal sebagai seorang guru kenamaan di Baghdad. Haris al-Muhasibi digelari al-Muhasibi, karena dia suka mengadakan instropeksi kepada dirinya. Kata tersebut berasal dari konsep al-muhasabah, yakni mengingat kembali atau melakukan evaluasi dengan penuh pertimbangan secara terus-menerus pada hati nurani.

Haris al-Muhasibi adalah pendiri aliran tasawuf Baghdad, bergabung bersamanya sufi terkenal Junaid al-Baghdadi (w. 298 H), Abu Hamzah al-Bagdadi (w. 289 H), Abu Husain an-Nuri (w. 295 H), Surri as-Saqti (w. 253 H), dan para sufi lainnya.

Al-Haris bin Asad al-Muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat islam, Al-Muhasibi menemukan kelompok didalamnya. Diantara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan, namun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniaan. Diantara mereka terdapat pula orang-orang terkesan sedang melakukan ibadah karena Allah, tetapi sesungguhnya tidak demikian.

Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah SWT, melaksanakan kewajiban-kewajiban Wara’ dan meneladani Rasulullah SAW. Menurut Haris al-Muhasibi, tatkala sudah melakukan hal-hal yang diatas, maka seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqih dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah dan mementingkan akhirat dari pada dunia.

Haris al-Muhasibi di dalam ajaran tasawufnya cnderung melakukan analisis dengan menggunakan logika. Sebagai contoh mengenai analisisnya tentang pengertian rasa sedih. Beliau menjelaskan sebagai berikut : ” Rasa sedih itu ada beberapa macam: rasa sedih karena hilangnya sesuatu yang keberadaannya sangat disenangi, rasa sedih karena khawatir tentang yang akan terjadi besok hari, rasa sedih karena merindukan yang didambakan bisa tercapai ternayata tidak tercapai, dan rasa sedih karena mengingat betapa diri menyimpang dari ajaran-ajaran Allah SWT.”

Menurut at-Taftazani, dalam kalangan sufi, barangkali Dialah yang pertama kali membahas maslah akhlak dan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti latihan jiwa, taubat, ridla, tawakal, takut, dan lain sebagainya. Dan dia adalah salah seorang sufi yang memadukan antara ilmu syariat dengan ilmu hakikat, Al-Ghazali berkomentar, “Al-Muhasibi adalah orang terbaik dalam ilmu mu’amalah (ilmu tentang ‘pergaulan dengan Allah’), dialah yang memiliki keutamaan sebagai perintis dari semua pembahas tentang noda-noda dalam jiwa, dan penyakit yang menodai amal rhaleh. Haris al-Muhasibi meninggal dunia di Baghdad pada tahun 234 H/857 M.

1. Corak Pemikiran Tasawuf Haris al-Muhasibi.

Al-Muhasibi sebagai ulama yang cukup lama berkecimpung dalam ilmu hadist dan fiqih maka tasawuf yang dikembangkan adalah tasawuf yang berandasan al-Qu’an dan Al-Hadist dan tidak melanggar batasan-batasan yang ditentukan syariat. Beliau juga menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kalam, maka tasawufnya sangat menghargai akal.

Corak pemikiran tasawuf Haris al-Muhasibi tentang peringkat (maqamat) berupa jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT dan keadaan-keadaan (ahwal) yang berkaitan dengannya. Secara analitis Haris al-Muhasibi mengemukakan di dalam satu uraian sebagai berikut: “Landasan ibadah itu adalah kerendahan hati, sementara kerendahan hati itu bersumber dari takwa. Landasan takwa itu adalah instrospeksi (telaah diri), sedangkan landasan instropeksiitu adalah takut (khauf) dan rasa harap (raja’) . Rasa takut (khauf) maupun rasa harap (raja’) muncul dari pemahaman terhadap janji dan ancaman Allah. Pemahaman terhadap janji dan ancaman Allah muncul karena ingat kan balasan Allah. Ingat akan balasan Allah itu sendiri muncul dari penalaran pikiran dan renungan hati.”

Dengan demikian, jelas kata at-Taftazani, bahwa H`ris al-Muhasibi menekankan fungsi kemampuan nalar atau akal budi dalam upayanya memahami hikmah-hikmah perintah dan larangan Allah. Namun hendaklah akal budi tersebut dibarengi dengan akhlak, sebagaimana ditegaskannya sebagai berikut: “Segala sesuatu mempunyai substansi. Adapun substansi manusia adalah akal budi, dan sebstansi akal budi adalah kesabaran.

Di sisi lain Haris al-Muhasibi membedakan pengetahuan keimanan yang teoritis dengan pengetahuan keimanan yang praktis. Bahkan dia membedakan amal lahiriah yaitu amal-amal anggota luar, dengan amal kalbu: “Amal-amal kalbu, dalam mengkaji hal-hal yang ghoib, lebih luhur ketimbang amal-amal anggota tubuh luar.

Haris al-Muhasibi juga mengungkapkan ajaran tasawufnya antara lain sebagai berikut: “Umat manusia yang baik adalah umat manusia yang tidak terpengaruh akhiratnya oleh dunianya, dan tidak pula meninggalkan dunianya sama sekali karena akhiratnya. Sebaik-baiknya sikap ialah tahan menderita kesukaran dan kesakitan, sedikit marah, luas belas kasihan, dan indah tutur kata, serta bersikap lemah lembut. Orang yang zalim itu akan kiamat meskipun dipuji orang, orang yang dizalimi itu akan selamat meskipun dia dicela orang. Orang yang selalu merasa puas termasuk orang kaya meskipun dia lapar, sedangkan orang yang selalu merasa kecewa itu termasuk orang fakir, meskipun dia mempunyai harta yang melimpah.”

Haris al-Muhasibi juga pernah mengatakan: “barang siapa yang telah bersih hatinya karena senantiasa muqabab dan ikhlas, maka akan berhiaslah lahirnya dengan mujahadah dan mengikuti contoh yang diteladankan oleh Rasulullah.

1. Karya-Karya Haris al-Muhasibi.

Haris al-Muhasibi mengarang berbagai kitab tasawuf yang sebagian besar isinya adalah memuat analisis kehidupan kesufian. Hal inilah yang menjadi inti pokok kandungan kitabnya Al-Ri’ayah li Ruquq al-Insan , yang menurut Massignon merupakan karya tulis orang Islam yang terindah tentang kehidupan esoterik dalam Islam.

Karya utama dari al-Muhasibi adalah kitab al-ar’ayat lihukukillah yang berisi tentang analisis yang bagus dan mendalam tentang bentuk ideolisme yanf mendalam tentang berbagai bentuk egoinisme manusia, metode untuk mengujinya, peringatan untuk bersikap waspada terhadap egoisme itu, dan peringatan agar kita tidak terikat dan disibukkan olehnya, demikian komentar Michael A.Sells. Bentuk-bentuk utama egoisme yang dibahas al-Muhasibi dalam karyanya meliputi :

1. Kesombongan dan keinginan untuk menampilkan kebaikan sendiri (Riya’).

2. Cinta kepada diri sendiri (Narsisme).

3. Membanggakan diri (kibr).

4. Angkuh (ujub).

5. Berhayal bahwa diri sendirimerupakan orang yang tepat (ghrah).

Menurut A. J. Arberry, sebagian besar karya tulis Haris al-Muhasibi berkaitan dengan disiplin diri, dia digelari al-Muhasibi (telaah diri), karena dia selalu menelaah dirinya (instropeksi). Sedangkan karya tulisnya Al-Ri’ayah li Ruquq al-Insan secara khusus berpengaruh besar pada pemikiran Imam al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.) dalam menulis kitabnya Ihya’ Ulum al-Din . Kemudian Al-Wasayah atau dikenal dengan Al-Nasaih , berisi nasehat-nasehat, terutama tentang tema-tema kezuhudan. Mukaddimah kitabnya ini bersifat otobiografis, dan ada kemungkinan telah terkandung dalam benak Imam al-Ghazali tatkala menulis karya tulisnya yang tekenal, Al-Munqiz min ad-Dalal . Karya-karya Haris al-Muhasibi adalah sebagai berikut :

1. Ar-Riayat lihukukillah (memelihara hak-hak Allah).

2. Al-Washiyah an-nasaih (Wasiat atau petunjuk).

3. Risalah Al-Mutarsidin (Orang-orang yang memperoleh petunjuk).

4. Al-masa’ilfi amal al-qulub wa al-jawarih wa al-aql (Tentang aktifitas hati, anggota tubuh dan akal).

5. Al-fahmi al-qur’an (Memahami Al-Qur’an).
DAFTAR PUSTAKA

Isa,H.Ahmadi. 2000. Tokoh-Tokoh Sufi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Al-Muhasibi. 2004. Nasihat Bagi Jiwa Yang Mencari. Surabaya ; Risalah Gusti.

Tinggalkan komentar