Cerpen | Otak Ayam (Detik, 20 Oktober 2018)

Cerpen ini dimuat di Detik, 20 Oktober 2018.

Tiga kali tiga sama dengan enam, dan aku dibilang tak lebih berotak ayam.

Aku memang tak pandai berhitung. Matematikaku tak pernah lebih dari lima setiap ulangan di sekolah. Entah aku yang bodoh atau guru Matematika itu yang tak pandai mengajar. Tapi, masalah kesabaran aku pastilah jagonya. Berkali-kali aku dihukum, disuruh berdiri di depan kelas dengan menaikkan satu kaki dan menjewer telinga secara bersilangan, aku tetap santai-santai saja. Termasuk ketika Yu Win memarahi aku (lagi) karena sudah kali kedua aku salah menghitung jumlah telur di dalam kotak kayu itu.

Tiga dari lima tetanggaku adalah orang Padang. Sisanya Batak dan Jawa. Orang-orang bilang orang Padang itu pelit. Pandai berhitung. Pacak berikin. Tapi, Manulang yang punya banyak anjing itu lebih bikin aku tak senang. Berapa kalilah aku memergoki anak-anak Manulang itu maling jambu dan rambutan di kebun. Aku sebenarnya mau nangani mereka itu, tapi sayang aku takut sama anjing. Aku paling benci dikejar anjing. Apalagi membayangkan kalau sampai taring-taring berliur itu menggigitku. Duh, mana aku harus cuci dengan tanah pula!

Salah satu orang Padang tadi memiliki tanah yang luas di samping rumahku. Masyarakat di sini membuat sebuah lapangan voli di sana sehingga tiap sore tidak pernah memiliki kata sepi. Hal paling menyenangkan selain main petak umpet dan bola kaki adalah menonton ibu-ibu bermain voli. Sebenarnya bukan terletak pada permainannya, tetapi pada pedagang yang menjajakan berbagai makanan di sekitarnya. Ibu memberiku jatah dua ratus rupiah uang jajan dalam sehari. Seratus rupiah kala itu masih dapat permen delapan. Semangkuk kecil nasi uduk bisa dibeli dengan harga yang sama. Yu Nar, penjual nasi uduk, jajanan favoritku itu, tahu kalau aku tak doyan makan pedas dan ditambahinya sedikit irisan telur dadar (atau ditambahi porsi nasinya). Sementara Dian dan Yeyen, entah kenapa, suka sekali minum es hoya yang warna-warni. Kata ibu, es hoya itu terbuat dari pewarna cat. Lagipula, aku cukup rentan kalau meminum es yang dijajakan di luar. Dibuat dari air mentah. Air sungai yang kotor yang jangankan dimasak, disaring pun tidak.

Besok sebenarnya ulangan Matematika. Tetapi, malam ini mati lampu. Lagi-lagi mati lampu. Seminggu tiga kali mati lampu di sini, antara jam enam malam sampai jam sebelas. Kalau petugas PLN lagi baik hati, jam sembilan lampu sudah hidup. Tetapi percuma. Ibuku yang cerewet itu sudah tentu akan menyuruhku masuk ke kamar, tidur. Lalu beliau akan lanjut menggerutu, membicarakan episode Tersanjung yang terlewatkan. Ibu-ibu zaman sekarang suka nonton sinetron. Anehnya, ayahku juga ikut-ikutan nonton sinetron. Tiap aku bertanya PR, pastilah sambil teriak aku disuruh nanya sama Kak Dio. Kakakku satu-satunya itu jauh lebih malas dari mimik mukanya yang bermata sangat sipit meski bukan orang Cina. Apalagi Yu Win yang malah menghadiahkan kemarahan yang panjang karena aku tak bisa-bisa belajar perkalian.

“Tiga kali tiga itu sembilan, bukan enam!”

Aku diam saja. Tidak berani membantah. Dalam batinku kukatakan, “Kalau dua kali dua sama dengan empat. Dua tambah dua sama dengan empat. Kenapa tiga kali tiga yang sama dengan sembilan tidak sama dengan tiga tambah tiga?”

Karena itulah aku cuma suka buku tulis dan ayam-ayam peliharanku. Bila sore, mereka memang enggan sekali kembali ke kandang dan lebih memilih bertengger di pohon jambu. Daun-daun pohon jambu itu pun tidak hijau lagi seutuhnya, tetapi bercoreng hitam bekas kotoran ayam. Tiap sore pula aku memanjat ke atas sana dan menangkapi mereka satu per satu kemudian memasukkannya ke kandang. Bilamana aku harus mulai menghitung jumlahnya, aku kerepotan. Selalu ada jumlah ayam yang kurang dan ayah memarahiku. Ia bilang aku pasti salah hitung. Ternyata, ayam kadang tidak tahu jalan pulang. Keesokan siang, aku melihat beberapa ayamku, aku yakin itu ayamku, diberi makan oleh Dian, tetangga sebelahku. Aku adukan itu ke ayah. Ayah langsung marah dan merebut ayam-ayam itu. Tetapi, keluarga mereka mulai bergosip dan menuduh ayahku yang cukup seram itu sudah mencuri ayam-ayam mereka. Padahal, setelah itu kutemukan bukti (aku melihat dengan mata kepalaku sendiri) bahwa Dian memasang perangkap kurungan ayam di semak-semak samping rumahnya. Lalu, ayam itu ia tangkap dan dikurung selama beberapa hari sampai menyadari rumah barunya sendiri. Aku diam saja karena ayam yang ditangkap ayam Mang Juni. Bukan ayamku.

Perihal buku tulis terang saja tak terlepas dari kepribadianku yang melankolis. Aku laki-laki yang sebenarnya suka mengurung diri di dalam kamar, mendengarkan lagu, dan menulis semacam puisi–ungkapan perasaanku. “Tahu apa anak kecil tentang perasaan?” Pernah sekali ayahku berkata seperti itu manakala ia memergokiku tengah menulis puisi. Dalam ensiklopediaku, taklah aku menuliskan setan atau sekompi tentara dari batalion dekat rumah itu sebagai makhluk terseram di dunia. Tapi, ayahku. Bayangkan saja, hampir setiap sore aku harus dijemput dengan sabetan sapu atau patahan ranting. Untuk yang kedua, bilamana aku masih setia memanjat pohon rambutan punya tetangga dan bertengger di atasnya bagai seekor burung menemu sarang. Belum lagi bila ketahuan ulangan Matematika itu dapat angka merah. Angka sial. Untung-untung dapat enam, aku tak jadi dimarahi.

“Kau mau jadi apa kalau menghitung tiga kali tiga saja tidak bisa?” ayahku mulai meneriakiku dan menyuruhku membuka celana pendek yang kukenakan. Tersisa celana dalam. Dan, mulai ia akan memukuliku (di pantat) dengan gagang sapu.

“Aku mau jadi sastrawan, Yah,” jawabku meringis sambil menahan tangis.

“Kau tidak boleh jadi sastrawan. Sastrawan bisa makan apa? Pokoknya kau harus jadi dokter atau insinyur!”

Di kampungku, memang beliaulah insinyur pertama. Sering kudengar cerita (yang dielu-elukannya), setelah tujuh tahun kuliah di sebuah universitas tak ternama, lalu diangkat jadi pegawai negeri tanpa menyogok. Perihal yang terakhir itu yang ditekankan kepadaku. “Sesulit apapun keadaan kita, kejujuran tetap harus kau pegang, Nak!” Toh, aku tak berniat jadi pegawai negeri yang katanya bisa menafkahi keluarga itu. Ya, bilamana beruntung dengan gaji satu juta per bulan bisa memberi makan seorang istri dan lima orang anak. Itulah akibatnya uang jajanku cuma dua ratus rupiah per hari. Berarti, enam ribu rupiah per bulan. Hanya sekitar setengah persen dari gaji ayahku itu.

Ayahku itu sebenarnya orang baik. Tapi, kepada anak-anaknya ia berlaku sangat tegas. Kak Dio belakangan ini sudah mulai melawan. Ia sering pulang tengah malam. Main kartu. Kali pertama dan kedua, ayahku membiarkannya. Malam ketiga, sengaja ia tak membukakan pintu. Kak Dio beralih ke pintu kamarku yang memang berada di samping. Aku juga tak berani bangun. Aku lebih takut ayah marah ketimbang Kak Dio yang marah. Pernah iseng kuintip dan kugerayangi kamar Kak Dio. Ada sekeping CD berbungkus gambar wanita telanjang. Aku belum pernah melihat wanita telanjang kecuali yang lebih kecil dariku sedang mandi di kali. Beda. Dada wanita itu menggelembung. Sementara, dada yang kulihat sedang mandi di kali itu masih rata seperti aku. Ingin kuadukan ke ayah, tapi aku tak tega kalau Kak Dio dimarahi lagi. Biarlah ini jadi rahasiaku saja.

***

Tahun-tahun berlalu dan selepas SMA aku melanjutkan kuliah ke Jawa. Jawa yang tidak lebih baik dari kampung halamanku. Entahlah, tahun-tahun berlalu tetapi Jawa yang kudiami ini tidak maju-maju. Dari awal mula kedatanganku sampai kini, sudah kudapatkan gelar sarjana, masih begitu-begitu saja. Sawah, rumah, hingga ke tiang listrik pun tetap seperti dulu.

Selama perantauanku, baru kali ini aku menjalani kepulangan, di atas sebuah bus tak ber-AC, diselipi asap rokok yang mengganggu.

Setelah satu hari lebih perjalanan, disambung sebuah angkutan pedesaan, aku sampai di seberang jalan pulang. Aku memang tidak bilang aku akan pulang. Aku pandangi rumahku, benar-benar rumahku, dan memang tidak sama. Sekarang, ada teras berlantai di depan rumah, dan taman-taman yang terawat rapi. Pohon kahya berdiri kokoh di sampingnya. Pohon jambu itu masih ada. Aku yang menanam. Hanya pohon ceri yang sudah ditebang diganti dengan garasi berisi karung-karung (sepertinya pupuk). Kandang ayam itu pun masih ada, tetapi anehnya tak kulihat satu pun ayam berkeliaran di siang hari begini. Padahal, harusnya, ayam-ayam itu telah bertambah banyak.

Aku mengetuk pintu. Tak lama Yu Win membukakannya.

Yu Win memelukku.

Tak lama ibu muncul. Rambutnya sudah banyak beruban.

Aku bersimpuh di kakinya. “Apa kabarmu, Nak?” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Dari pembicaraan-pembicaraan selanjutnya, kuketahui ternyata ayam-ayamku itu sudah mati semua. Terkena flu burung. Terlebih memang semenjak kepergianku, tak ada yang mengurusnya. Dian masuk penjara dan buron setelah melakukan pelarian.

“Jadi kamu sekarang benar sudah sarjana?” tanya Ibu tidak percaya.

Aku menganggukkan kepala. “Sarjana Matematika, Bu…”

“Tiga kali tiga masih sama dengan enam?” singgung Yu Win.

“Kalau dikurangi tiga lagi…” jawabku dengan tertawa.

“Pasti ini gara-gara ayam-ayammu mati dan kutukan otak ayam itu tercabut sendirinya, Nak…” kata Ibu lagi.

Aku tertawa.

Barangkali.

Karena ayah sudah tak ada lagi.

Pringadi Abdi Surya buku terbarunya adalah sebuah novel berjudul Phi

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *