KEB

KEB

BPN

BPN

About Me

About Me
Diah is here! Mom of three boys.

Cerita Menggelikan Dalam Perjalanan Ke Kampus UNS

5 komentar
Kampus-uns

Ini adalah cerita menggelikan dalam perjalanan ke kampus UNS tahun 2001. Boleh ikut ketawa ya atas kekonyolan saya. Boleh! Bebas!

Ada dua cerita menggelikan yang masih bikin saya geli campur tak percaya. Keduanya dalam satu paket perjalanan meski di hari yang berbeda. Kita mulai dari cerita pertama, ya!

Cerita Menggelikan Dalam Perjalanan Ke Kampus UNS: Gerbang yang Direnovasi

Cerita bermula dari masa pengangguran saya selepas didaulat jadi sarjana. Sudah sarjana, tidak tahu mau apa. Parah banget. Berhubung ada lowongan tenaga pengajar di Universitas Sebelas Maret a.k.a. UNS di Solo, saya pun ikut-ikutan mendaftar. Serius ikut-ikutan! Apalah saya ini, ilmu pun tak nyantol, mana ada tampang pengajar. Tapi asal syaratnya bisa masuk, saya ikut aja. Semangatnya boleh lah.

Tesnya berlangsung dua hari kalau tidak salah. Tentu saja itu setelah lulus tes administrasi, ya. Tes hari pertama adalah tes tertulis. Hari berikutnya TOEFL dan tes wawancara.
Di hari pertama, saya menghadapi drama disesatkan oleh tukang becak. Sesuai instruksi kakak saya yang alumnus UNS, saya naik bis jurusan Surabaya dari Jogja.

"Turun di Tugu Cembengan," pesan kakak saya.

"Terus naik becak aja. Turun di gerbang belakang."

Oke. Saya ikut arahan itu sambil membongkar memori waktu saya ikut kakak saya ke kos-kosannya dulu. Kos-kosan kakak saya ada di jalan samping pagar kampus. Untuk menuju gedung tempat tes, bisa memutari jalan itu sampai gerbang belakang.




Sumber: http://pulung-online.blogspot.co.id/2010/06/cembengan-lebih-sekedar-tugu.html?m=1

Turun di Tugu Cembengan, pikiran saya langsung jernih. Oh, iya. Ingat. Tugu Cembengan ini kalau dari arah Jogja, sebelum UNS, merupakan persimpangan Jalan Ir. Sutami dengan Jl. Ki Hajar Dewantara. Dekat juga dengan kampus ISI Solo. Saya cari becak di situ, tawar-menawar dan deal. Lalu pas saya sudah di becak, tukang becaknya bilang kalau gerbang belakang sedang direnovasi dan tidak bisa dilewati. Saya diarahkan untuk turun di Fakultas Hukum saja lalu jalan kaki sampai gedung tempat tes. Berhubung saya tidak tahu kondisi, saya menurut saja.

Baca juga: A Sick Backpacker Who Made It To Semarang

Pak tukang becak dengan antusias menurunkan saya di dekat pagar Fakultas Hukum. Di pagar ada celah kecil yang bisa dilewati orang untuk masuk ke kompleks kampus. Pak tukang becak menunjukkan jalannya.

"Masuk, belok kiri, terus saja. Nanti ketemu gedungnya."

Ya sudah, meski agak ragu,saya turun, berjalan dengan agak terburu-buru melewati kampus UNS yang hijau. Tes hampir dimulai, jadi saya agak berlari-lari. Saya ingat bersama saya ada dua orang lagi yang juga berjalan menuju tempat tes.

Akhirnya terlihat juga gedung yang saya tuju. Di sana sudah ramai sekali. Tapi...lho...kok banyak kendaraan yang diparkir di situ?? Lho...kok banyak yang lewat situ?? Katanya gerbang belakang sedang direnovasi?? Lha kok ini nggak?? Katanya tidak bisa dilewati?? Lha kok ini bisa??

Uuughhh...saya baru sadar sudah dikibuli pak tukang becak tadi! Entah apa motivasi si bapak tadi. Apakah karena melihat tampang culun saya? Teganya...!!!

Kalau ingat kejadian itu saya masih agak jengkel. Tapi barangkali juga si pak tukang becak tadi sedang terburu-buru gara-gara sakit perut jadi tidak bisa mengantar saya sampai tempat. Ya, anggap saja begitu. Hikmahnya, saya jadi tahu sedikit lebih banyak tentang kampus UNS.

Cerita Menggelikan Dalam Perjalanan Ke Kampus UNS: Nihon Kara no Desu Ka?

Cerita menggelikan dalam perjalanan ke kampus UNS terulang lagi di hari berikutnya. Berhubung Solo-Jogja cukup dekat, saya tidak perlu ngekos atau cari penginapan di Solo. Nglaju saja sudah bisa. Toh tesnya hanya berlangsung setengah hari.

Nah, pada hari kedua saya kebagian TOEFL dan tes wawancara di jam siang, selepas duhur. Jadilah saya berangkat sekitar jam 9 pagi. Perjalanan Jogja-Solo kurang lebih dua jam sehingga saya akan masih punya waktu untuk persiapan dan sholat duhur di sana.

Kali ini saya naik bis jurusan Solo. Turun di Terminal Tirtonadi lalu lanjut naik angkot. Di hari kedua ini saya tidak turun di Tugu Cembengan tapi langsung di gerbang depan kampus UNS. Untungnya gerbang depan ini tidak sedang direnovasi! Hahaha...




Sumber gambar: http://komunikasi.fisip.uns.ac.id/


Saya naik bis dari pertigaan Janti, duduk di dekat jendela, di baris kedua dari pintu depan. Sampai di depan Candi Prambanan, ada dua-tiga orang naik. Salah satunya seorang ibu agak sepuh yang memakai topi lebar dan berkulit terang. Usianya kira-kira 50 tahunan. Lagak lakunya menarik perhatian saya. Ibu itu tidak kebagian tempat duduk, jadi berdiri saja di dekat tiang dekat pintu. Tiap ada orang naik-turun ibu itu menepi sambil menunduk-nundukkan kepalanya seperti menghormat. Setelah saya amati, oooh...ternyata ibu itu orang Jepang! Jadi ingat film Oshin ya. Nunduk-nunduk.

Dalam hati saya berdoa agar ibu itu bisa jadi teman duduk saya selama perjalanan. Namun tiba-tiba orang yang duduk di baris depan saya ada yang turun. Ibu itu lalu duduk di situ. Agak kecewa juga saya. Tapi...Alloh mengabulkan doa saya. Orang di sebelah saya turun dan ibu itu pindah ke sebelah saya! Horeee...!!! Sebelumnya memang terlihat tempatnya duduk kurang nyaman sebab ada barang bawaan milik sebelahnya di dekat kaki si ibu.

Dan seperti yang diduga, ibu Jepang tadi sambil menunduk-nundukkan kepalanya duduk di samping saya dengan tersenyum. Saya balas tersenyum. Alhamdulillaah.
Sebetulnya ada alasan saya ingin duduk bersebelahan dengannya. Saya ingin dengar dan bicara dengan orang Jepang secara live! Hehehe...

Di tengah rasa gembira itu, dengan nekat saya menyapanya, "Nihon kara no desu ka?"

"Dari Jepang, ya?" kira-kira begitu artinya.

Bagai bertemu bintang idola, ibu itu dengan meriahnya menyambut sapaan saya. Beliau berkata-kata dalam Bahasa Jepang dengan riang sambil menyalami saya. Mungkin dalam pikirannya, "Ketemu juga nih sama yang bisa bahasaku di sini."

Padahalll...saya mah cuman nekattt!!! Maafkan saya, Bu!

Tapi ibu itu sepertinya tidak peduli saat saya dengan Bahasa Inggris terbata-bata plus bahasa tarzan super fasih menjelaskan kalau saya cuma bisa seiprit Bahasa Jepang. Ya cuma sekelas arigatou, ohayo gitu-gitu deh. Ibu itu tetap saja mengajak saya bicara.

Berhubung sudah terlanjur, saya memberanikan diri bertanya dari Jepang sebelah mana beliau berasal. Belum selesai saya bertanya, beliau sudah bisa menebak pertanyaan saya. "Osaka," jawabnya sambil tersenyum. Lalu saya bilang kalau saya juga punya teman di Osaka yang aslinya dari Okayama. Wuah...ibu itu makin semangat. Mungkin dikiranya saya pernah ke Okayama. Lalu setelah saya jelaskan kalau teman saya itu adalah sahabat pena saya, barulah beliau paham. Ya, semoga suatu saat nanti saya bisa juga sampai ke sana.

Lalu saya bertanya lagi, "Di Indonesia ke mana saja?" Ini tanyanya sudah pakai Bahasa Inggris, ya. Kosakata Jepangnya sudah habis. Eh, si ibu menjawab dengan jawaban yang bikin saya malu.

"Medan. Surabaya," jawabnya.

Saya saja belum pernah ke sana.

Tujuannya kali ini ke Semarang tapi lewat Solo. Jadi beliau berencana naik bis sampai Solo lalu nyambung ke Semarang.

"Koto," katanya sambil menggerakkan jari-jarinya.

Aah...jadi beliau ke sini mengajar koto atau belajar koto-nya Indonesia. Sendirian! Wuih...hebat! Jangan-jangan beliau ini dosen atau peneliti ya?




Koto. Alat musik petik tradisional Jepang. Mirip siter di Jawa. Sumber gambar: Wikipedia; Judul: Koto (Instrument)


Obrolan kami masih berlanjut. Saya pakai bahasa hybrid, campur-campur apa saja, yang penting ngomong. Ibu itu tetap kekeuh pakai Bahasa Jepang. Beliau memuji pakaian saya. Beliau bertanya kenapa jalanan ramai sekali. Kebetulan waktu itu mau ada hari libur nasional.

Sampai di Terminal Kartasura, kondektur berteriak-teriak, "Solo, Solo!" Maksudnya cari penumpang ke Solo. Tapi ibu Jepang tadi mengira sudah sampai Solo dan beliau buru-buru pamit ke saya. Saya bilang ke beliau kalau ini belum Solo, tapi sudah terlambat. Ya gimana lagi, bahasa saya antik gitu.

Setelah ibu itu pergi saya baru seperti orang terbangun dari mimpi. Hey, ini beneran ya? Iyaaa! Lalu saya ketawa sendiri dalam hati. Pengalaman yang sangat seru. Meski tidak lama bisa ngobrol tapi, ah, tak terlupakan. Dan sesampainya di tempat tes saya membatin, "Ini orang lain belajar untuk tes Bahasa Inggris, saya malah belajar Bahasa Jepang."

Ya, itulah cerita menggelikan dalam perjalanan ke kampus UNS. Kisah belasan tahun lalu yang masih terkenang hingga kini. Pak tukang becak dan ibu Jepang. Kalian takkan mudah terlupakan.

Related Posts

5 komentar

  1. Bruakakakkk.. Dikibulin tukang becak. Teganya, Pak e! :P

    Btw, orang Jepangnya ramah banget ya, Mbak. Biasanya kan mereka diem-diem aja gitu. Huahahah.

    BalasHapus
  2. Waa...sip2..bljr ngomong ma orang asing. Eh..mbak, kok nggak standby tempat mb wi aja...kan ra usah bolak-balik.. ( tp klo nggak bolak-balik, ora ketemu turis jepang)

    BalasHapus
  3. hehehe... berbekal nekat, jadi keterusan ya mba...

    BalasHapus
  4. wahhh, berarti si ibu jepang itu salah turun yah Mba? duh, semoga beliau baik-baik saja dan gak ketemu "tukang becak nakal", amin..

    terimakasih sudah berpartisipasi di GA saya yah Mba Diah :*

    BalasHapus
  5. wahhh, berarti si ibu jepang itu salah turun yah Mba? duh, semoga beliau baik-baik saja dan gak ketemu "tukang becak nakal", amin..

    terimakasih sudah berpartisipasi di GA saya yah Mba Diah :*

    BalasHapus

Posting Komentar