Jumat, 24 Juni 2016

Travel

Menikmati Kuliner Peranakan

Berita Terkait

Yulia Sapthiani

Ketika kuliner China bersentuhan dengan rasa Melayu, lahirlah kemudian masakan peranakan. Suatu paduan yang indah di lidah.

Asam-asam iga sapi, soka salad mangga, ikan pecah kulit bakar dengan pelengkap sambal petis dan sambal tomat, serta segelas es cin teng, yang berisi berbagai bahan herbal asal negeri China, tersaji di meja makan Kedai Tiga Nyonya pada Kamis (27/1/2011) siang.

Di tengah udara panas Jakarta pada siang itu, menyantap menu yang merupakan favorit pelanggan restoran tersebut terasa sangat pas. Sesuai namanya, asam-asam iga, yang disajikan di panci kecil beserta pemanasnya, terasa segar. Kuahnya mirip seperti kuah tom yam, asam dan agak pedas.

Rasa segar juga ada pada soka salad mangga yang memakai mangga muda sebagai salah satu bahan utama. Irisan mangga berbentuk seperti korek api, daun selada, dan wortel diracik dengan bawang merah, potongan cabai, dan bumbu lain yang memunculkan rasa asam sekaligus segar. Di atas irisan berbagai sayuran ini diletakkan kepiting soka, kepiting bercangkang lunak, yang digoreng dengan balutan tepung.

Menu lain yang tak kalah nikmat, terutama saat disantap dengan nasi putih hangat, adalah ikan pecah kulit yang dibakar. Sepintas, rasanya mirip ikan kue, tetapi yang ini memiliki daging yang lebih tebal.

Menurut Paul B Nio, pemilik restoran yang didirikan Desember 2003 ini, ikan pecah kulit adalah ikan laut yang hidup di perairan dalam. Meski bumbunya sudah cukup terasa hingga ke daging ikannya, Kedai Tiga Nyonya menyajikan menu ini dengan pilihan sambal petis dan sambal tomat, seperti dabu-dabu, yang khas Indonesia.

Maka, jadilah menu yang diberi nama Ikan Bakar Spesial Tiga Nyonya ini menjadi salah satu representasi menu peranakan, dalam hal ini gabungan antara menu Indonesia dan China.

”Saya berusaha agar menu peranakan yang ada di sini menampilkan sisi Indonesia, baik saat dipadukan dengan kuliner China maupun Belanda,” kata Paul yang juga menyediakan menu yang dipengaruhi budaya Belanda.

Keinginan Paul menonjolkan sisi Indonesia ini dilatarbelakangi pengalaman dia dan istrinya, Winnie. Keduanya cukup sering mencicipi masakan peranakan di Singapura saat mengunjungi anak mereka yang sekolah di sana.

”Di Singapura dan Malaysia, masakan peranakan dikenal dengan luas dibandingkan di Indonesia. Tetapi, hampir semuanya berbumbu kari. Agak sulit untuk menemukan masakan dengan variasi lain,” kata Paul.

Dari pengalaman itulah, Paul, yang memang sudah melirik bisnis kuliner selepas krisis moneter, melihat peluang besar, yaitu mempromosikan perpaduan kuliner China dengan kuliner Indonesia yang lebih beragam. Setelah menetapkan jenis masakan yang akan dijual, Paul dan istrinya mengumpulkan resep keluarga untuk memunculkan konsep makanan rumahan.

Atmosfer peranakan

Untuk menyajikan keotentikan rasa, Kedai Tiga Nyonya menghindari penggunaan penyedap rasa berupa MSG. ”Kami benar-benar memakai bahan aslinya. MSG diganti rempah-rempah atau bumbu lain. Toh, orang zaman dulu tidak memakai MSG saat memasak,” kata Paul, yang kemudian menjelaskan konsekuensi dari penggunaan bahan-bahan otentik tersebut, yaitu harga di restorannya lebih mahal dibandingkan restoran lain yang sejenis.

Sebagai bagian dari strategi pasar, yaitu untuk menjangkau konsumen yang luas, Paul memilih menyajikan hanya makanan halal meski sesekali ada konsumen yang menanyakan menu nonhalal.

Suasana rumah pun dibuat di Kedai Tiga Nyonya untuk memperkuat konsep masakan, salah satunya di TIS Square, Tebet, Jakarta. Di salah satu sudut ruangan dengan meja makan bundar, terdapat beberapa guci, sangkar burung yang digantung di langit-langir, dan lemari cuiho yang sudah berusia sekitar 80 tahun. Seperti halnya resep, beberapa barang yang menjadi interior ruangan adalah barang-barang milik keluarga.

Nama Tiga Nyonya sendiri berasal dari sebuah foto hitam putih bergambar dua perempuan dewasa dan anak kecil mengenakan kebaya encim dan kain. ”Foto aslinya milik kolektor barang seni. Karena dia tidak mau menjualnya, fotonya saya pinjam untuk diperbesar supaya bisa saya tempatkan di setiap Kedai Tiga Nyonya,” kata Paul sambil menunjukkan sebuah buku bertahun 1892 dalam foto tersebut.

Peranakan Malaysia

Istilah makanan peranakan tak hanya dikenal di Indonesia. Kuliner percampuran dari bangsa yang berbeda ini juga dikenal di Malaysia dan Singapura. Beberapa restoran Malaysia yang bertemakan kuliner peranakan bahkan sudah merambah pasar Indonesia, salah satu di antaranya adalah Ah Tuan Ee's yang berada di Pacific Place, Jakarta.

Restoran yang berdiri tahun 2000 di Petaling Jaya, dekat Kuala Lumpur ini, menyajikan makanan peranakan yang tak hanya memadukan masakan Malaysia dan China, tetapi juga dipengaruhi kuliner Portugis dan Belanda.

Dalam buku menu restoran ini diceritakan, masakan yang dijual berasal dari resep keluarga, seperti halnya Kedai Tiga Nyonya. Frankie Cheah, pendiri restoran, menjual masakan dari resep milik ibunya, Lim Chye Tuan.

Dalam buku menu itu pula diceritakan, masakan Malaysia peranakan pada umumnya memiliki rasa pedas, seperti asam laksa dan ikan asam pedas. Masakan peranakan lain yang cukup populer di Malaysia adalah laksa dan kangkung belacan (terasi).

Pengelola Ah Tuan Ee's di Indonesia, Iwan Tjandra, mengatakan, secara umum masakan peranakan Malaysia dan Indonesia tidak jauh berbeda. ”Yang membedakan biasanya hanya di beberapa bumbu. Misalnya, ikan goreng asam manis. Di Malaysia, ikannya dilumuri belacan lebih dulu, sedangkan di Indonesia langsung digoreng. Rasa asam manisnya sendiri adalah khas China,” tutur Iwan.

Beberapa menu juga sama-sama dimiliki kedua bangsa dengan kekhasannya masing-masing, seperti nasi goreng, mi goreng, dan nasi uduk atau yang di Malaysia disebut nasi lemak.

 

Editor : Heru Margianto