Dugderan Tradisi Kota Semarang |
Dugderan
merupakan festival untuk menandai dimulainya ibadah puasa di bulan Ramadan yang
diadakan di Kota Semarang. Perayaan yang telah dimulai sejak masa kolonial ini
dipusatkan di daerah Simpang Lima. Perayaan dibuka oleh wali kota dan
dimeriahkan oleh sejumlah mercon dan kembang api (nama "dugderan"
merupakan onomatope dari suara letusan).
Pada
perayaan ini beragam barang dijual (semacam pasar malam) dan pada masa kini
sering diikutkan berbagai sponsor dari sejumlah industri besar. Meskipun
demikian, ada satu mainan yang selalu terkait dengan festival ini, yang
dinamakan "warak ngendok". Dugderan dimaksudkan selain sebagai sarana
hiburan juga sebagai sarana dakwah Islam.
Dugderan
ini sekarang di selenggarakan di Daerah Pasar Johar, Pernah juga di laksanakan
di Daerah dekat Masjid Agung Semarang. Namun, ketika di adakan disitu
masyarakat kurang berpartisipasi sehingga dugderan begitu sepi. Pernah juga di
selenggarakan di dekat Station Tawang namun, ketika di selenggarakan disitu
para penjual kurang aman karena banyak preman berkeliaran sehingga dugderan
biasanya dari tahun ke tahun selalu berpndah pindah tidak tetap.
Nama
Dugderan berasal dari "Dug" yakni suara pukulan bedug, dan
"Der" yang merupakan suara ledakan meriam atau petasan. Nama tersebut
sebagai penanda puasa yakni diawali bedug dan diakhiri petasan. Tradisi
dugderan sebagai pertanda awal dimulainya pelaksanaan ibadah puasa telah
dimulai sejak tahun 1881 pada masa pemerintahan Bupati Semarang, Purbaningrat. Tradisi
dugderan sudah berusia ratusan tahun dan masih dilestarikan hingga sekarang.
Tradisi tersebut digelar untuk mengingatkan warga, bahwa bulan puasa sudah
dekat. Dugderan akan berakhir satu hari sebelum puasa, dan acara puncak tradisi
dugderan diisi dengan arak-arakan kirab budaya. Dalam arak-arakan tersebut pula
terdapat maskot hewan khas dugderan yang disebut warak ngendok. Mendekati
Masjid Besar Kauman, masjid tertua di Semarang, iring-iringan prajurit mengawal
Walikota Semarang yang memerankan tokoh Bupati Semarang tempo dulu.
Selama
seminggu sebelum bulan Ramadhan diadakan pasar kaget, dimana pasar tersebut
juga diberi nama pasar Dugderan. Yang dijual bermacam-macam, mulai dari mainan
tradisional seperti peralatan masak tradisional ukuran mini, mobil-mobilan,
truk kayu dengan berbagai ukuran, kurma, busana muslim, makanan sampai aneka
macam permainan semua tumpah ruah. Yang unik dari Pasar Dugderan Semarang ini
adalah dijualnya Warak Ngendhog (artinya Warak bertelur), makhluk imajiner yang
menjadi maskot kota Semarang sejak dulu. Warak Ngendhog hanya dapat dijumpai
pada saat pasar Dugderan dan dulu adalah mainan favorit anak-anak Semarang kala
menyambut bulan Puasa.
Arak-arakan
mobil bertema Warak Ngendhog ini akan menempuh jalur antara Balaikota sampai
dengan Masjid Agung Jawa Tengah (dulunya hanya sampai di Masjid Agung Semarang
yang ada di Pasar Johar) dan biasanya para warga sudah berjubel di jalanan
sejak siang harinya ketika acara belum dimulai. Hiasan mobil atau manggar yang
dibawa peserta karnaval biasanya akan diambil oleh warga hingga ketika sampai
di Masjid Agung Jawa Tengah. Arak-arakan Warak Ngendhog inilah yang menjadi
daya tarik bagi masyarakat termasuk wisatawan yang berkunjung ke kota Semarang
pada saat tradisi Dugderan dilaksanakan. Warna-warni Warag Ngendhog dan
bentuknya yang unik inilah yang jadi ciri khas. Unsur Cina, Arab dan Jawa
menyatu harmonis dalam wujud Warak Ngendhog serta tradisi Dugderan yang menjadi
pemersatu masyarakat kota Semarang khususnya ketika menetapkan jatuhnya tanggal
1 Ramadhan. Setelah diumumkannya 1 Ramadhan oleh Ulama Masjid Agung, maka bunyi
DER itu yang menjadi penandanya dan biasanya berlangsung hingga adzan Maghrib
berkumandang. Seiring dengan itu, maka Pasar Dugderan secara resmi juga ditutup
dan dibuka lagi di tahun berikutnya.
Tradisi
Dugderan adalah Festival yang menandai awal Puasa Ramadlan, keramaian yang
teramat meriah yang turun temurun telah dilakukan sejak masa pemerintahan
Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung (KRMT) Purbaningrat hingga sekarang, yang
menjadi menarik dari Tradisi Bulan Ramadhan Khas Semarang ini adalah adanya
Warak Ngendok sebagai simbol Tradisi ini .
Prosesi
Dugderan biasanya terdiri dari tiga agenda yakni diawali dengan Pasar Dugderan
selama satu bulan penuh mulai siang hingga malam, selanjutnya dilakukan Prosesi
Ritual pengumuman Awal Bulan Ramadhan dan kemudian diadakan Kirab Budaya
Dugderan yang dimulai di halaman Balai Kota Semarang Jawa Tengah yang diikuti
oleh berbagai kalangan.
Tujuan
diadakannya Tradisi Dugderan oleh Bupati Semarang kala itu didasari oleh
keprihatinan beliau terhadap kedamaian Masyarakat Semarang, karena didapati
sebuah gerakan memecah belah yang merusak tatanan masyarakat yang kentara sejak
kedatangan Kolonial Belanda, mereka mencoba menghembuskan persaingan tidak
sehat yang memanfaatkan pembauran masyarakat semarang yang telah diketahui
terdiri dari berbagai Suku, Agama dan Golongan. hingga terjadi pengelompokan
Masyarakat di Semarang, Daerah Pecinan untuk Warga Cina, Pakojan untuk Warga
Arab, Kampung Melayu untuk Warga Perantauan Luar Jawa serta Daerah Kampung Jawa
yang ditempati oleh Masyarakat Pribumi Jawa.
Penggolongan
Masyarakat di Semarang semakin diperparah oleh perbedaan pendapat dikalangan
Umat Islam mengenai penetapan awal bulan puasa yang berujung pada perbedaan
hari-hari besar Islam lainnya. Dengan keberanian dan kecerdasan Bupati
melakukan usaha untuk memadukan berbagai perbedaan, termasuk salah satunya
untuk menyatukan perbedaan penentuan awal bulan Ramadlan. Usaha Bupati ini
sangat didukung dari kalangan ulama yang berada di Kota Semarang. Salah satunya
yang banyak berperan adalah Kyai Saleh Darat.
Disamping
tujuan luhur tersebut, Tradisi Dugderan dimaksudkan untuk mengumpulkan seluruh
lapisan Masyarakat dalam suasana suka cinta untuk bersatu, berbaur dan bertegur
sapa tanpa pembedaan. Selain itu dapat dipastikan pula awal bulan Ramadlan
secara tegas dan serentak untuk semua paham agama Islam berdasarkan kesepakatan
Bupati dengan imam Masjid. Sehingga terlihat semangat pemersatu dangat terasa
dalam tradisi yang diciptakan tersebut. Untuk semakin memeriahkan Tradisi
tersebut diciptakanlah sebuah karya fenomenal berupa binatang hayalan yang
disebut dengan Warak Ngendok, hadirnya Warak Ngendok dalam tradisi tersebut
diharapkan mampu menarik perhatian masyarakat sekitar.
Tradisi Dugderan
berkembang dari tahun ke tahun, apabila dahulu hanya menggunakan meriam
sekarang semakin ramai dengan digunakannya bom udara serta sirene yang menandai
awal Tradisi tersebut, tradisi ini sudah
berkembang lebih semarak ditandai dengan datangnya para pedagang “tiban” yang
menjajakan aneka permainan anak, makanan dan banyak lagi yang lain. Kondisi
demikian memberikan warna baru terhadap trasidi Dugderan.
(oleh: Juniana Prastiwi-Sejarah Unnes)
EmoticonEmoticon